Aku Ingin Bercakap denganmu dalam Empat Perihal

catatan observasi lokakarya pra-residensi Pseudo-Entertainment #1

Oleh Ragil Cahya Maulana

/1/ 

Perihal kota. 

Sejauh yang bisa kuingat, tubuhku lahir di kota. Bululawang adalah kota pertama. Aku mengingatnya  samar-samar, antara 1991 hingga 1993. Sewaktu kanak, aku tidak tahu bahwa Bululawang berada di  Kabupaten Malang. Bululawang yang kualami di masa kanak adalah pusat kecamatan, yang lalu lintas,  pasar, dan Masjid Jami’-nya selalu ramai. Tubuh kanakku bermain di keramaian-keramaian itu, dengan  mobil-mobilan, pistol-pistolan, action figure Power Rangers, bersama para sepupu yang juga berasal dari  kota sekitar — Surabaya, Lumajang, Ponorogo. Waktu itu, aku lebih fasih bicara dalam bahasa Indonesia  ketimbang bahasa Jawa. Anak-anak tetangga teman bermainku semuanya bicara dalam bahasa  Indonesia, sebagaimana mereka menirunya dari televisi. 

Tentu waktu itu aku tidak menyadari bahwa sedang berada di ruang pertunjukan antara. Di Bululawang  ada pabrik-pabrik gula, juga tentu ada ladang-ladang tebu. Ada tubuh karyawan dan tubuh petani. Ada  mobil-mobil, tronton, dan andong bertenaga kuda. Bululawang adalah tempat di mana desa dan kota  berjumpa secara gradual. Aku tidak ingat dan juga tidak tahu ada Seni Pertunjukan apa di sana, tapi kalau  Ugoran Prasad atau Richard Schechner mau ke sana, mereka tentu akan dengan mudah melihat pabrik,  ladang tebu, karyawan, petani, dan lalu lalang mobil-tronton-andong sebagai pertunjukan artistik dari  sebuah kota. Bululawang adalah panggung teater agrikultural dan industrial sekaligus. 

Industri tebu di Bululawang dibangun oleh pemerintah kolonial, begitu juga infrastruktur lain seperti  saluran air dan jalur kereta api. Kakek buyutku dari jalur ibu adalah orang Pamekasan dan bekerja di  jawatan kereta Hindia Belanda. Ia hijrah ke Bululawang karena mutasi kerja. Ia menjadi kepala stasiun  dan menetap hingga akhir hayatnya di Bululawang. Keberadaan kakek buyutku (juga banyak orang  Madura lainnya) di Bululawang adalah wujud dari dramaturgi pemerintah kolonial. Kakek buyutku,  barangkali tanpa dia sadari, adalah satu dari sekian juta aktor dalam panggung akbar kolonialisme. Itu  berarti, di Bululawang, aku pernah jadi figuran dalam sebuah fragmen pascakolonial. 

Lalu, aku mengalami Sumenep kota. Ini adalah kecamatan pusat di kabupaten paling timur Madura. Aku  mengalaminya hingga menjelang kuliah, lalu sekali lagi saat menikah. Sebelum aku kuliah, Sumenep  adalah kota santri. Sarung berkibar di mana-mana. Kopyah dan peci bertebaran, bersama baju koko  menerawang yang di dalamnya mengintip kaos bola 15 ribuan. Dan tentu saja penuh tubuh yang kerap  menunduk dan akrab dengan gatal-gatal. Tapi, aku tidak sekolah di pondok pesantren. Rama (begitulah  aku memanggil bapakku) memasukkanku ke madrasah sore di Kampung Arab. Mungkin biar aku  mengalami nuansa pedagogi kesantrian, meskipun tidak total. Sejak SD hingga SMP, setiap sore aku akan  berangkat ke madrasah, belajar lughot dan nahwu-shorof, menghafal Juz ‘Amma, dan kadang dicambuk  pakai rotan ketika tidak hafal. Bagi Rama, bekas sabetan rotan di tanganku adalah penanda kesantrian  yang kaffah. 

Karena juga belajar di madrasah, aku dikenal sebagai anak alim di sekolah. Padahal, justru dari kawan kawan madrasah lah aku mengenal bokep dan merancap. Meskipun aku tidak belajar merokok dan bolos  seperti teman-teman lainnya, tetapi aku istiqamah menilep uang iuran madrasah untuk beli  koran Soccer dan tabloid Bola. Waktu itu, aku lebih khusyuk membaca riwayat gol Van Nistelrooy atau  Del Piero ketimbang mengaji ilmu hikmah. Barangkali, itulah rekam jejak akting pertamaku di sebuah  panggung pertunjukan bernama Sumenep Kota Santri. Rama (juga mungkin semua bapak di Sumenep  dan Madura) mengamini dan mengimani suatu social script yang mendisiplinkan tubuh anak sebagai santri. Social script itu segera membentuk dramaturgi pedagogis yang membuatku (juga banyak anak  lainnya) memainkan peran ganda. Di satu sisi, kami harus memerankan performativitas kesalehan sesuai  nilai-nilai Islam menurut para kyai NU. Di sisi yang lain, kami juga turut larut dalam peran alamiah anak anak puber yang tak tahan godaan untuk belajar nakal. 

Peran ganda itu bahkan juga kami mainkan dalam peristiwa Seni Pertunjukan. Bulan Maulid adalah bulan  festival di Sumenep. Ada banyak pengajian yang disertai hadrah, banjari, gambus, dan tari-tarian Islami.  Ada pawai obor dan lampion. Belakangan juga ada festival musik tong-tong (di tempat lain disebut daul).  Madrasah tempat aku belajar pernah menggelar lomba pentas drama untuk merayakan Maulid (ini  terjadi pada 2003, saat aku masih SD). Cerita yang dilombakan adalah kisah para nabi. Aku dan beberapa  kawan tentu saja mengikuti lomba itu, sesuai arahan ustazah. Naskah yang kami pentaskan adalah kisah  banjir bandang Nabi Nuh. Aku, entah bagaimana, kedapatan peran jadi sang Nabi. Latihan pun  berlangsung di madrasah, kadang sampai selepas magrib. Nah, sepulang latihan, kami biasanya akan  berkumpul di satu rumah kawan untuk… ya mau apa lagi selain nonton bokep USA. Kami menontonnya  melalui pemutar DVD, tentu sambil sembunyi-sembunyi. 

Bagi anak-anak seusia kami saat itu, bokep sangat mangkus dan sangkil memberi gambaran paling  gamblang tentang kehidupan Barat. Orang-orang Amerika (ini sebutan kami untuk semua orang kulit  putih) itu modern, canggih, berpakaian bagus dan terbuka, dan tentu saja suka seks bebas. Itu kami  ketahui dan sadari dari bokep, bukan dari siaran langsung Liga Italia atau video klip Linkin Park. Dan kami  tentu saja diam-diam ingin menjadi Barat. Kami disuruh orang tua memakai sarung dan jubah, tapi kami  sendiri ingin memakai celana jins. Orang Tua berharap kami fasih melafalkan lughotul Arabiyyah, diam diam kami ingin belajar mengucap oh yes oh no fuck yeah. Jadi, bayangkan saja, tubuh-tubuh kami  berada dalam tegangan peran: mengaji dan mementaskan kisah para nabi sambil menubuhkan  kehidupan Amerika melalui pornografi. 

Kini, tegangan peran itu telah paripurna. Sumenep kini menjadi kota wisata dengan banyak nama: Kota  Keris, Soul of Madura, dll. Pondok pesantren tetap digdaya di mana-mana, tetapi santri adalah identitas  eksklusif di dalam tembok pondok. Di luaran pondok, tubuh para santri memainkan peran yang senapas  dengan langgam kota wisata. Sebagai kota wisata, Sumenep musti terbuka pada banyak nilai. Ini bisa  dilihat dari bermunculannya banyak coffee shop trendy. Di sana, para santri mulai fasih memainkan peran  dalam lakon urbanisme modern. Mereka bisa menghisap vape, tanpa malu-malu menatap perempuan yang merokok, dan lancar jaya merapal mantra gaul alah ngentot bangsat! ketika kalah main Mobile  Legends. Sebelum ke coffee shop, sangat mungkin tubuh-tubuh mereka beredar di ruang tahlilan,  memainkan peran sebagai pelantun barzanji dan manaqib. 

/2/ 

Perihal koreografi. 

Malam itu hujan turun deras. Angin berhembus kencang, waswes. Aku duduk di sebuah warung kopi  murah di Sewon, Bantul. Mataku menatap layar ponsel, menyimak Saras Dewi yang tengah memapar  topik bertajuk Koreografi Sosial (Kota) dan Kerimpangan Gairah di ruang Zoom. Hujan membuat sinyal  wifi tak optimal. Suara Saras Dewi terdengar seperti penyanyi dalam VCD bajakan: putus-putus dan  kadang hilang sama sekali. Aku menangkap beberapa kalimat secara tak utuh. Saras Dewi bercerita soal  beberapa tarian, lalu memapar soal perempuan dan kota, juga menyebut-nyebut Leslie Kern  dengan Feminist City-nya. Aku cukup familiar dengan yang terakhir itu. Sebagai editor Lau Ne, aku kebetulan baru saja mengedit sebuah tulisan perihal bagaimana perempuan mengalami kota (penulisnya  menggunakan gagasan Leslie Kern sebagai pisau telaah). Selebihnya, entah. Hampir dua jam aku  bertahan menghadapi performativitas wifi yang payah, lalu aku menyerah. Aku terpaksa meninggalkan  ruang Zoom dengan hati gundah. 

Jika koreografi adalah perihal gerak dan struktur, maka tampaknya ia tak melulu bertumpu pada tubuh.  Bagiku, malam itu, koreografi adalah soal cara bagaimana sesuatu menggerakkan, digerakkan, atau  tergerakkan. Apa yang tampak atau dialami oleh tubuh hanyalah aspek superfisial saja, tampilan luaran  dari koreografi. Lokakarya melalui Zoom adalah suatu koreografi pengetahuan, lebih khusus lagi  koreografi pengetahuan kontemporer. Koreografi ini diterima secara sosial setidaknya setelah kita  mengalami kiamat kecil-kecilan bernama pandemi covid. Dalam koreografi itu, pengetahuan ditukar tangkapkan melalui perjumpaan dan percakapan virtual. Tubuh-tubuh yang bertukar-tangkap  pengetahuan hadir melalui imaji digital, melalui avatar, diperantarai oleh energi tak kasatmata bernama  sinyal internet. Dan dalam koreografi semacam itu, kita bisa berkomunikasi dengan subjek-subjek lain  dari dimensi ruang-waktu-bahasa yang berbeda. Aku berada di Bantul, mungkin saja Saras Dewi ada di  New York atau Ciudad Juárez. Seratus tahun lalu, koreografi semacam ini kita sebut mistis. Percakapan  dengan entitas dari dimensi lain adalah perkara ghaib. Koreografi mistis itu meniscayakan perangkat dan  tata cara: ada uborampe (bunga, kemenyan, dupa) dan tari-tarian tertentu. Kini, dalam koreografi  pengetahuan berbasis Zoom, kita perlu menyiapkan uborampe berupa modem wifi, ponsel, laptop,  hetset, kopi, dan rokok agar supaya transfer ilmunya berlangsung mantab. Duduk, membuka laptop, atau  bermotor ria ke warung kopi seperti yang aku lakukan adalah sebagian dari tarian tubuh kontemporer.  Masalahnya, uborampe-ku ternyata tidak mantab. Wifi burik, ponsel lowbatt, kopi dingin, dan rokok  habis. Pantas saja komunikasiku dengan Eyang Saras Dewi tidak berlangsung lancar. 

Begini saja, aku mau bercerita perihal suatu koreografi sosial yang membuatku terlempar dari Madura.  Dalam bukunya masing-masing, Huub de Jonge (1989) dan Kuntowijoyo (2002) pernah bilang bahwa  pertanian tegalan di Madura tidak mengandalkan jaringan irigasi. Sebagai konsekuensinya, pertanian  tidak menimbulkan ikatan sosial. Tampaknya, itu ada benarnya. Ikatan sosial orang-orang Madura  terbentuk oleh hal lain, seperti: tahlilan, sunatan, pernikahan, Maulid Nabi, dsb. Masyarakat Madura  terhubung melalui mode-mode perayaan; kami adalah masyarakat festivalis! 

Mode-mode perayaan itu tentu saja melahirkan tata gerak tertentu. Tubuh-tubuh berjumpa lalu  mengaktivasi pasar, dapur, halaman, ruang tamu, hingga masjid. Perjumpaan dan aktivasi itu juga punya  durasi dan ritmenya sendiri; ada penanda kapan sesuatu dimulai dan kapan sesuatu harus berakhir; ada  intensitas gerak yang kencang, ada juga yang selow. Semua itu juga berlangsung dalam suatu social  script yang menyejarah. Inilah yang bisa dilihat sebagai koreografi sosial menurut kacamata Andrew  Hewitt (2005) dan Michael Kliën (2020). Bagi Hewitt, gerak keseharian warga adalah linking dance and  the aesthetics of everyday movement. Sementara itu, bagi Kliën, interaksi antarkelompok yang  melibatkan kerja-kerja penubuhan adalah the choreography of the social

Saat sudah menikah, aku dan istriku segera terintegrasi dalam koreografi sosial di Madura. Aku harus  hadir tahlilan, istriku harus ikut rewangan, kami harus sigap menjenguk tetangga yang sakit, menilik bocil-bocil yang baru disunat dan khatam Qur’an, dan hadir dalam pesta-pesta pernikahan. Kata ‘harus’  jadi penting digarisbawahi karena seluruh koreografi sosial itu juga resiprokal. Dalam koreografi itu,  orang saling balas kunjung-mengunjungi, saling balas beri-memberi bantuan. Saling balas itu membentuk ikatan dan menjadi modal hidup bersama bagi warga. Ini sudah berlangsung secara  menyejarah, sudah jadi tradisi. 

Persoalannya: bagiku, koreografi sosial semacam itu juga berlangsung dalam tegangan. Tubuhku punya  dua panggung sekaligus. Di satu sisi, tubuhku harus mengikuti ritme koreografi sosial di Madura. Di sisi  lain, tubuhku juga terhubung dengan koreografi pengetahuan dan pekerjaan di luar Madura. Kadang,  misalnya, jadwal tahlilan bentrok dengan agenda zoom meeting. Ketika ada tetangga yang punya gawe,  saat itu pula aku punya tanggungan editan naskah yang sudah masuk masa tenggat. Situasi-situasi  semacam itu bisa tak mudah dinegosiasikan. Keduanya bisa sama-sama bersifat harus saat itu juga. Dua  langgam koreografi sosial menghantam tubuhku secara simultan, tanpa ampun! Percayalah, itu tak  mudah. Aku kadang harus merelakan pekerjaan, yang itu juga berarti merelakan penghasilan. Kadang,  aku merelakan diri menghadapi tatapan tajam dari para tetangga, bahkan dari keluarga. Kadang pula,  rasanya kayak diteror dua kartel narkoba sekaligus. Duh, pelik. 

Di sisi lain, tegangan itu juda hadir dalam bentuk yang lain: biaya. Metode koreografi sosial di Madura  hari ini berkembang pesat kayak pertumbuhan ayam broiler. Dulu, mekanisme saling balas ditunaikan  melalui pertukaran barang dan jasa semata. ‘Barang’ di sana merujuk pada modalitas alamiah yang  dimiliki masing-masing pihak: bisa ternak, hasil bumi, dsb. Kini, asas saling balas itu mengalami  monetisasi: semuanya melibatkan uang! Koreografi saling-balas juga ditandai dan diukur menggunakan  angka-angka rupiah. Aku pernah iseng-iseng menghitung. Jika semua momen resiprokal itu terjadi di  bulan yang sama, maka aku setidaknya harus punya uang 3,5 juta rupiah. Itu adalah kebutuhan ongkos  sosial yang harus kutanggung, belum lagi kebutuhan harian. Dalam tahap tertentu, aku merasa  resiprositas sosial itu kini memang jadi medan perputaran uang. Dan karena itulah segera muncul  koreografi-koreografi sosial baru: mengantar anak ke pondok, wisuda di semua jenjang pendidikan, ulang  tahun pernikahan, dll. Itu berarti ongkos sosial yang dibutuhkan juga jadi membengkak. Sementara itu,  peluang kerja tetap terbatas dan situasi pengupahan tak banyak berubah. 

Di hadapan koreografi sosial semacam itu, aku (juga banyak orang lain) mau tak mau hengkang dari  Madura. Dalam kasusku, tubuh dan pikiranku tak bisa nyetel secara total dengan koreografi sosial di  Madura. Tegangan-tegangan yang muncul lama-lama terasa sangat mengganggu secara psikologis. Dalam  kasus banyak orang, uang kerap kali jadi pangkal persoalan. Mereka tak sanggup lagi terus-menerus  berhutang untuk menebus ongkos sosial di Madura. Membuka atau menjadi penjaga toko kelontong 24  jam di Jawa kemudian jadi pilihan strategis. Ini tentu melahirkan langgam koreografi sosial baru di  berbagai kota industri seperti Jabodetabek, Bandung, Yogya, dan Surabaya-Gresik-Sidoarjo. Di Madura  sendiri, koreografi sosial di ranah pertanian juga pelan-pelan berubah. Sebelum para peniaga toko  kelontong berangkat ke Jawa, mereka tentu tak lupa menjual atau menggadai sawah-ladangnya sebagai  modal. 

/3/ 

Perihal arsip. 

Tubuhku adalah medium arsip yang selama ini tak terbaca. Ingatan tidak hanya tersimpan di otakku,  melainkan juga mengalir dalam darah, merasuk ke otot dan tulang sumsum. Aku mengetahuinya belum  lama ini ketika pergi ke psikolog. Di sebuah klinik di Jogja, dalam sebuah sesi, seorang psikolog  memintaku merentangkan satu tangan. Ia mengajukan pertanyaan, aku menjawabnya, lalu otot  tanganku akan mengkonfirmasi apakah jawabanku valid atau tidak. Jika valid, otot tangan akan menguat, pun sebaliknya. Awalnya, aku pikir ini semacam klenik. Lalu muncullah penjelasan soal muscle memory.  Si psikolog mengakses long term memory-ku melalui kalibrasi otot. Ia menyebut ini sebagai metode tes  otot

Ada buanyak hal yang segera terbaca dari tes otot, dan hampir sebagian besarnya selama ini tak pernah  kusadari. Aku, misalnya, punya berbagai trauma yang mewujud dalam kecenderungan gerak tertentu.  Dan trauma paling dahsyat ternyata berasal dari orangtua. Pengabaian secara konsisten, komunikasi yang  buruk, tekanan ekspektasi, dan verbal abuse membuat tubuhku gampang merasa tidak aman. Otot-otot  utamaku mudah menegang dan jadi waspada, detak jantung mudah meningkat. Itu bisa terlihat jelas  dari cara berjalanku yang sangat kaku, juga dari kebiasaan mengangkat tumit ketika duduk. Tubuhku  selalu ada dalam mode siap siaga. Caraku merespons informasi juga mudah sinis karena semua hal  berpotensi jadi ancaman. 

Orangtuaku tentu saja tidak bersengaja membuatku jadi begitu. Mereka hanya melaksanakan lakon  hidup sesuai zamannya, juga sesuai dramaturgi didikan para pendahulunya. Kedua orangtuaku bekerja  sebagai PNS di masa-masa puncak kedigdayaan Orde Baru Soeharto. Sebagai penyuluh BKKBN dan bidan,  mereka berdua berada di garda terdepan mensyiarkan propaganda Dua Anak Cukup (sialnya, mereka  sendiri punya 3 anak). Mereka berdua terbiasa hidup dalam struktur kekuasaan yang penuh kontrol,  tekanan, dan pendisiplinan total; semua itu bisa berlangsung bahkan dalam relung kehidupan mereka  yang paling personal. Belum lagi, kedua orangtuaku lahir ketika Republik Indonesia masih ranum. Mereka  dibesarkan oleh orang-orang yang mengalami langsung ganas-brutalnya kolonialisme Belanda dan  Jepang. Kata Rama, kakek buyutku di Madura pernah jadi tentara KNIL; Rama mengingatnya sebagai  manusia penuh teror mental. Andaikata mau, Rama bisa menulis buku seribu halaman tentang kisah kisah parenting brutal yang ia alami sepanjang 1940-an dan 1950-an, belum lagi horor sosial pasca-1965  yang menghantam masa remajanya. Trauma itu merentang jauh ke belakang. Apa yang tersimpan dalam  tubuhku sekarang adalah residu generational trauma. Tubuhku hari ini adalah arsip atas sejarah  kekerasan lintas generasi. 

Dalam keseharian, gerak tubuh bisa berlangsung nyaris tanpa disadari. Gerak tubuh keseharian kita  adalah semacam templat. Dan itu segera saja membuatnya jadi arsip yang invisible. Dalam gelaran Babad  Lembana 4 di Madura, Puri Senja mengelaborasi arsip invisible itu melalui seni pertunjukan. Melalui  gerakan-gerakan tertentu, Puri memapar jejak kuasa militerisme dalam gerak dan ruang personal kita.  Setelah menonton pertunjukan itu, mataku memicing lebih tajam untuk melihat muatan arsip yang  terkandung dalam gerak tubuh warga. Aku rasa Ayos Purwoaji juga perlu memicing lebih tajam melihat  gerak tubuh warga. Seingatku, ia tak banyak membahas ketubuhan dalam materi lokakaryanya  untuk Pseudo-Entertainment. Melihat tubuh sebagai arsip invisible ini memang agak sulit. 

Tentu agak lebih mudah membaca arsip visible berupa artefak. Apalagi, ketika kita bicara soal catatan,  foto, atau medium arsip konvensional lainnya. Benda-benda semacam itu memang diciptakan untuk  membekukan momen dan menyimpan ingatan. Masalahnya, tak semua orang bisa mengakses produk  dan metode pengarsipan semacam itu. Sebagai teknologi, media rekam konvensional adalah perangkat  kelas menengah-atas. Penggunaan dan perawatannya meniscayakan biaya yang hanya bisa ditanggung  oleh mereka yang berpunya. 

Warga kebanyakan menyimpan khazanah ingatan mereka dalam barang-barang vernakular, benda  keseharian, seperti pakaian, perkakas dan perabot rumah tangga, hingga arsitektur. Baru-baru ini, aku  bahkan menemukan makanan sebagai arsip visible warga. Sebuah resep mangut lele di Padukuhan Sawit, Bantul, bisa menyimpan sejarah sebuah keluarga. Persoalannya: sebagaimana gerak tubuh yang invisible,  arsip visible warga ini juga kerap tak tersadari. Inilah risiko dari vernakularitas. Ia terlampau melekat  dalam keseharian, terlampau biasa, sehingga kita sulit menatapnya secara berbeda. Dalam  pengalamanku sebagai kurator, pendekatan artistik terbukti ampuh menghadirkan cara tatap yang  berbeda itu. Ketika resep mangut lele tadi, misalnya, diolah menjadi karya ilustrasi oleh Ripase Nostanta  Purba, warga jadi melihatnya dengan tatapan lain. Oh, ini ternyata bukan sekadar makanan. Mangut lele  ini punya cerita. Tetapi, cara yang demikian itu meniscayakan peran subjek lain di luar warga: seniman  dan kurator. Bisakah warga sendiri yang membicarakan arsip mereka? Sangat bisa. Tetapi, menurut  warga, buat apa? 

Di sinilah pentingnya perjumpaan dan percakapan. Pertama-tama, penyingkapan arsip warga tak bisa  terjadi begitu saja. Warga bisa tidak menyadari kekayaan arsip yang mereka miliki. Pun ketika mereka  menyadarinya, segara muncul pertanyaan: untuk apa dan siapa kekayaan arsip ini didayagunakan?  Perjumpaan dan percakapan rasa-rasanya menjadi mekanisme alamiah bagi warga untuk menjawab  pertanyaan itu. Dalam perjumpaan dan percakapan, warga bisa merasakan niatan di balik penyingkapan  arsip. Niatan itu biasanya diukur berdasarkan sejauh mana ia bisa memberi rasa aman, nyaman, dan  kedekatan bagi warga. Semua itu adalah semacam password untuk mengakses ingatan warga. Strategi ini  membuat warga punya kendali lebih mantap atas khazanah pengetahuan mereka. Barangkali, itulah  kenapa kerja-kerja pengarsipan warga kerap tidak berbasis pada teks. Selain punya risiko rusak ketika  disimpan, artefak tekstual juga rentan dicuri dan dibajak untuk kepentingan pihak lain — bukankah itu  yang dilakukan kolonialisme? 

/4/ 

Perihal bahasa. 

Dalam materi lokakaryanya untuk Pseudo-Entertainment, Aan Mansyur bilang kata bisa membangun dan  meruntuhkan sebuah dunia. Kata membentuk kita, menginstal suatu cara pandang atas dunia ke dalam  diri kita. Ketika kita menuliskan kata-kata, kita sedang membangun suatu dunia, atau setidaknya suatu  imaji atas dunia. Begitu kata-kata itu kita rombak, suatu dunia telah runtuh dan segera berganti dengan  dunia baru. Ketika aku mengetik justice, sebuah dunia imajiner tentang keadilan terbangun. Begitu  kuberi spasi jadi just ice, imaji keadilan ambyar dan berganti sesuatu yang lain. Jadi, siapa yang punya  kuasa di sini? Kata atau kita? 

Omong-omong, bisakah kita membayangkan dunia tidak dalam penjara bahasa kata-kata? Aku sadar  menulis ‘penjara’ karena bahasa kata-kata cenderung membangun sekat yang membatasi kita. Sesuatu  jadi ada dan diketahui ketika ia telah dimuat dalam kata. Kata adalah wadah, yang tentu saja punya batas  bunyi dan bentuk. Melalui kata-kata, bahasa lalu menjadi basis pengetahuan. Masalahnya, pengetahuan  adalah resepsi manusia atas sesuatu di luar dirinya. Pengetahuan selalu berjangkar pada manusia. Dunia  yang kita ketahui melalui bahasa adalah dunia dalam tatapan manusia, dalam kesadaran manusia.  Pengetahuan itu antroposentris, logos-sentris. Apakah pohon tau bahwa dirinya disebut p-o-h-o-n?  Bagaimana pohon mengetahui dunia? Aku tidak tau. Kamu? 

Melalui bahasa, melalui kata-kata, kita hanya bisa bicara tentang pohon, bukan bicara dengan pohon.  Bicara itu sendiri, sebagai suatu praktik penggunaan bahasa, kini hanya lumrah dilakukan kepada sesama  manusia. Kalau aku duduk jongkok dan berfafifu dengan pohon, orang pasti akan melihatku dengan  tatapan janggal. Kasihan, berat betul beban hidupnya. Mungkin begitu suara batin mereka, kayak di sinetron Indosiar. Situasi ini sebenarnya membuat bahasa memisahkan manusia dari semua hal di luar  dirinya. Dengan bahasa, manusia menjadi penatap yang berjarak, bukan menjadi bagian dari sebuah  dunia. Inilah barangkali yang membakar gairah manusia untuk berpetualang. Selalu ada manusia yang  punya dorongan untuk menyongsong samudra luas, menyibak hutan lebat, mendaki puncak tertinggi,  menyelami palung terdalam, bahkan merengkuh ujung alam semesta. Manusia selalu berusaha  menjangkau sudut-sudut tak tersentuh di dunia ini — sejauh yang kita bisa. Untuk apa? Untuk  mengetahui dan mem-bahasa-kan segala yang belum terjamah itu. Pada November 2023, kolektif periset  multinasional yang dikoordinir Pennsylvania State University merilis temuan bernama UNCOVER-z12 dan  UNCOVER-z13, dua galaksi terjauh berjarak 33 miliar tahun cahaya dari kita. Bayangkan, sesuatu yang  melayang-melayang nun jauh di sana, kita menyebutnya ‘galaksi’ dan memberinya nama. itulah batas  terjauh dari dunia yang bisa kita rengkuh. Di luar itu, selain hal-hal yang sudah terjamah bahasa, hanya  ada… entah. 

Bahkan ketika digunakan oleh sesama manusia, bahasa juga segera membangun jarak. Aku bisa tidak  mengerti apa yang dikatakan orang Zimbabwe, meskipun pikiran kita menunjuk pada sesuatu yang sama.  Tapi, teknologi kiwari bernama Google Translate sudah bisa mengatasi problematika ini. Yang tak bisa  diatasi Google Translate adalah batas bahasa kelas. Kata-kata yang hidup di satu kelas sosial bisa sama  sekali asing bagi kelas sosial yang lain. Kita kerap kali bicara dalam bahasa kelas kita sendiri dan merasa  kelas lain yang sulit memahaminya sebagai umat bodoh yang perlu ditingkatkan literasinya. Aku menulis  kalimat barusan sebagai orang yang pernah dibentuk oleh bahasa universitas, dibentuk oleh bahasa  buku-buku yang ditulis dengan cara berpikir universitas. Orang-orang di kampungku juga sangat mungkin  sama sekali tidak mengerti kata-kata yang kutulis di sini; mereka bisa membacanya, tetapi tidak mengerti  maksudnya. Itu tidak lantas membuat mereka tolol. Mereka hanya punya bahasa kelasnya sendiri;  mereka memahami dan menyatakan sesuatu dengan cara yang berbeda dariku. Padahal, kami bisa hidup  di ruang yang sama, tetapi punya bahasa kelas yang berbeda. Jika bahasa membangun dunia, maka  dunia yang sedang kita bangun adalah dunia yang terserak dan serba berjarak. Kita hidup dalam bahasa  kelas masing-masing. 

Untungnya, siasat kreatif kontemporer punya dorongan untuk memangkas jarak itu. Jika benar Aan Mansyur resah pada penggunaan kata-kata sebagai alat tikai di Twitter, maka aku sangat  menyarankannya nonton reels Instagram. Dalam beberapa guliran, Aan pasti menemukan konten kata kata hari ini dalam berbagai format. Ada @robbymaulids yang sedang tekun menanyai orang-orang biasa  seperti tukang becak dan penjual rujak. Ia meminta orang-orang itu merapal kata-kata secara spontan.  Hampir semua kata-kata yang terucap berasal dari kehidupan sehari-hari, yang kerap mampir di telinga  tapi tak pernah benar-benar kita dengar dengan saksama. Satu kata-kata yang segera menjadi sohor  berasal dari Pak Sujud: yang sudah boleh pulang. Singkat, padat, bikin overthinking. Robby menambahi  kata-kata itu dengan imbuhan klip video dan suara latar, memberinya performativitas ekstra. Kata-kata  dalam konten Robby segera menghubungkan satu kelas sosial dengan kelas sosial lainnya, terutama di  kolom komentar. Robby mengamplifikasi bahasa suatu kelas sosial agar terhubung dengan kelas sosial  yang lebih luas. @kajilele_22 lebih performatif lagi. Akun yang dikelola Aris Setiawan itu memadukan  kata-kata dan koreografi. Aris biasanya akan berjoget di kandang kambingnya, tentu dengan iringan  musik latar kontemporer (maksudnya, yang sedang hit tapi dalam versi remix atau koplo). Video joget itu  ia bubuhi kata-kata meme seperti lelaki tidak bercerita atau udah tau dia bercanda, harusnya tertawa  bukan mencari luka dan yang semacamnya. Hanya saja, mungkin Aan akan agak kebingungan karena Aris  lebih banyak menggunakan kata-kata berbahasa Jawa. Tapi, itulah poinnya. Konten Aris ditonton puluhan ribu orang justru karena ia tidak hanya bicara dengan kata-kata, yang serba terbatas, melainkan juga  dengan bahasa koreografis. Gerak tubuh, ekspresi, lagu, bahkan interaksinya dengan properti dan latar  adalah bahasa kelas yang gamblang, yang dengan mantab ia persembahkan untuk beragam kelas sosial  di Instagram. 

Bisakah kita bicara tidak dengan kata-kata? Maksudku, tidak selalu menggunakan kata-kata? Di depan  rumah kontrakanku, aku suka duduk diam di sore hari. Melihat langit. Awan-awan megah. Angin  menerpa wajah. Daun-daun bergesekan. Cicicuit burung di kejauhan, bercampur dengung mesin kota.  Sapu lidi tetanggaku bergesekan dengan tanah. Langkah kakinya terdengar samar tapi kuat. Aku  membiarkan diriku mengalami semuanya. Saat itu terjadi, aku berhenti menandai semuanya dengan  kata-kata, aku melepaskan diri dari hasrat mencari dan menemukan sesuatu dalam bahasa.  Aku memenggal kepalaku agar tubuhku bisa hidup. Tubuhku bercakap dengan sendirinya. (Momen lepas  dari bahasa ini agak sulit terjadi ketika editor, penulis, dan kurator di kepalaku tak mau berhenti bekerja;  mereka selalu butuh merumuskan semuanya dalam kata). Tentu saja aku harus  menuliskan pengalaman sore hari itu dengan kata-kata karena kau tak berada di sini bersamaku. 

Lain waktu, andai kita berjumpa, aku mungkin saja bisa tiba-tiba terdiam di hadapanmu. Ya, tentu saja kita akan membicarakan sesuatu. Mulut kita saling bersahutan. Tapi, persis di momen itu, aku suka  membiarkan diriku lepas kendali. Aku tak perlu peduli kau bicara apa. Aku membiarkan dua bola mata  kita bercakap dengan sendirinya, begitu juga dengan otot dahi, pipi, leher, bahu, dan seluruh tubuh kita.  Aku berserah pada segala yang mungkin kita alami: ke-tegang-an, ke-rindu-an, ke-dekat-an, ke-takut-an,  perasaan tak aman, atau mungkin juga… cinta. Apa yang diucap mulut hanyalah prasyarat rasional atas  perjumpaan tubuh kita. Tata kelola kehidupan sosial toh tidak memperkenankan kita duduk berdua dan  tidak saling mengatakan apa pun. Perjumpaan harus selalu disertai transfer kata-kata. Tetapi, apa yang  dialami tubuh kita adalah sebenar-benarnya percakapan, sebuah perjumpaan tanpa bahasa. 

Nah, dari tadi sebenarnya aku sedang mengajak kita melepaskan bahasa dari belenggu Bahasa. Apa yang  kita tahu tentang Bahasa adalah satu hal sedangkan bahasa itu sendiri adalah hal lain. Bahasa dalam  kepala kita adalah sebuah konsepsi asosiatif, sebuah struktur ide atas hubungan tanda-penanda.  Sementara itu, bahasa dalam dirinya sendiri mengandung performativitas abstraksi, ia adalah abstraksi.  Bagiku, abstraksi (atau bisa juga kita sebut Yang Gaib) itu sudah ada di sana, di mana pun itu, lalu ia  menampakkan atau mempertunjukkan diri, seperti jin yang tiba-tiba menampakkan wujudnya. Yang Gaib  itu ada bukan karena kita telah menemukannya, ia ada karena ia memang telah dan selalu ada. Dan,  tampaknya, Yang Gaib itu selalu punya intensi untuk berjumpa dan bercakap-cakap. Ketika kita  menjumpainya pada suatu persilangan takdir, tubuh kita (sebagai perangkat resepsi paling luar) segera  merasakan keberadaannya dalam nuansa dan suasana. Dengan kata lain, tubuh kita secara alamiah  selalu berjumpa dengan bahasa sebelum ia menjadi Bahasa. Lalu dalam rangka memahami Yang Gaib  itu, prefrontal cortex dan rasionalitas kita bekerja menciptakan Bahasa untuk menandai bahasa. 

Di titik itu, kita jadi bisa melihat bahasa yang gamblang dalam segala bentuk niatan yang tak tampak.  Ketika pemerintah menggusur sebuah kampung lalu membangun pusat perbelanjaan, atau ketika  developer menimbun sawah menjadi perumahan, kita sebenarnya bisa melihat keduanya sebagai  bahasa, bahasa kekuasaan. ‘Pembangunan’, ‘urbanisasi’, ‘modernisasi’, atau ‘agar lebih rapi/indah/aman’  adalah kata-kata, adalah Bahasa, untuk membungkus bahasa kekuasaan. Sebagai Bahasa, kata-kata itu  hanyalah rasionalisasi atas keputusan — dibuat-buat biar masuk akal. Sebab, kata-kata itu tak punya  ikatan yang memadai dengan kenyataan. Katanya pembangunan, tapi nyatanya kok menggusur dan menghancurkan hajat hidup banyak orang? Jika dikonversi ke dalam Bahasa, ke dalam kata-kata, maka  niatan samar itu berbunyi kami ini punya kuasa dan kamu tidak, kami punya kepentingan begini dan  kamu harus tunduk

Sekarang, cobalah duduk di mana pun di sudut kotamu. Lepaskanlah kepalamu dari Bahasa, dari tanda penanda, dari kata-kata. Biarkanlah tubuhmu mencerap bahasa, bercakap dengan Yang Gaib. Apa yang  bisa kamu dengar

__________________________ 

[*] aku menulis catatan reflektif ini sebagai pengamat dalam lokakarya pra-residensi Pseudo Entertainment #1 yang digelar BPAF Foundation pada 21-22 Januari 2025. Lokakarya itu mendiskusikan 4  topik: City as and is Performance (diampu Ugoran Prasad), Koreografi Sosial (Kota) dan Kerimpangan  Gairah (Saras Dewi), Pengarsipan Vernakular dan Narasi Kolektif Kota (Ayos Purwoaji), dan Rethinking  (Through) My Language—& Craft (M. Aan Mansyur).

Ragil Cahya Maulana adalah seorang pustakawan partikelir, melakukan kerja-kerja penulisan, pengeditan naskah, kerja kuratorial dan artistik dalam rangka mengarsipkan dan mendayagunakan pustaka atau modalitas pengetahuan lintasdisiplin. Sebagai pustakawan partikelir, saya tertarik pada perspektif vernakular, utamanya dalam konteks fotografri, kuliner, dan budaya pop.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *