Situated Play Sejarah Jalan Asia Afrika

Situated play yang diciptakan dalam Glitch of the Future: 3045 lebih condong pada naratologi dibandingkan dengan ludologi. Ia berpijak pada penceritaan narasi sejarah hingga refleksi pemain. Permainan ini kaya akan narasi dan makna. Hal ini adalah poin utama dalam mencapai situated play.

oleh Rizal Sofyan

(foto-foto BPAF Foundation)

Pukul 09.20 WIB saya bersama teman turun dari angkot dan berjalan menuju Penjara Banceuy, titik kumpul untuk bertemu dengan seorang anak bernama Sudo. Kami tidak mengenalnya, tetapi kami penasaran dengan anak ini. Pasalnya ia bertanya mengenai sejarah yang hilang di masa depan. Ia mengajak seseorang untuk menemukan data sejarah mengenai Jalan Raya Pos di Kota Bandung yang menurutnya hilang. Terlintas sejenak pertanyaan “memang di masa depan sejarah mengenai Jalan Raya Pos di Kota Bandung ini hilang? Apa penyebabnya?”. Entah server penyimpanan arsip sejarah mengalami kerusakan akibat badai matahari, ketegangan situasi politik, atau mungkin krisis lainnya di tahun 3045, latar belakang Sudo mencari sejarah yang hilang ini masih menjadi misteri. Namun, sebagai masyarakat yang sadar akan pentingnya sejarah, saya mau membantu karakter fiksi yang bernama Sudo ini dalam game performance berjudul Glitch of the Future: 3045 karya Arif Furqan.

Kebetulan saya bermain bersama seorang teman atau kolega dosen. Saya sengaja ajak karena semester genap ini ia mengajar mata kuliah sejarah kebudayaan indonesia. Saya pikir permainan macam ini akan membantunya dalam mengolah materi di kelas nanti. Terlebih karena disebutkan Pseudo History Detective dalam deskripsi karya, saya pikir bermain sendiri bukan ide yang bagus. Permainan detektif atau bisa saya sebut memiliki mekanisme hidden object bukan keahlian saya (baca: skill issue) apalagi dilakukan di ruang publik.


Sekitar pukul 09.30 WIB kami sudah sampai di titik kumpul, 30 menit lebih awal. Suasana Sabtu pagi (08/03/2025) terbilang masih sepi. Toko-toko masih beberapa yang sudah buka dan jalanan nampak lenggang – karena bulan Ramadan juga. Sembari menunggu panitia datang kami melihat-lihat keadaan sekitar. Sesekali kami melihat ke dalam situs Penjara Banceuy dari pintu masuk. Penjara ini ialah saksi bisu di mana Sang Proklamator yaitu Soekarno di penjara. Selain Penjara Banceuy, kami melihat beberapa Bandung Tour on Bus (Bandros) yang penuh oleh turis berlalu-lalang. Sekilas saya melihat pemandu tur menunjuk Penjara Banceuy dari dalam Bandros dan memberikan penjelasan kepada turis. Sampai akhirnya panitia dan rombongan dari acara Pseudo Entertainment hadir di lokasi pada pukul 10.00 WIB.


Salah satu dramaturg Pseudo-Entertainment #1 sekaligus pembawa acara yaitu Arsita membuka presentasi karya. Ia ditemani oleh seorang panitia dan Arif Furqan sang seniman memberikan penjelasan mengenai permainan yang akan dimainkan dan beberapa mitigasi jika terjadi kendala ketika bermain seperti me-refresh browser jika permainan error. Semalam peserta memang diinstruksikan untuk menyiapkan gawai dan headset untuk mendengarkan beberapa petunjuk selama permainan. Arif menambahkan bahwa pemakaian headset juga untuk menambah pengalaman ketika bermain. Karena permainan akan menggunakan media gawai dan ruang publik. 


Panitia lalu menyodorkan QR Code untuk mengakses permainan. Terlihat main menu permainan pada browser bertema futuristik minimalis. Font bertema pixel di latar belakang berwarna hitam dengan dekorasi bingkai dan ornamen berwarna neon. Di sana kami mulai berkenalan dengan Sudo via teks. Ia menjelaskan bahwa ia memiliki kekurangan data mengenai sejarah Jalan Raya Pos tepatnya Jalan Asia Afrika di Kota Bandung. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya bersedia untuk membantu.

Glitch of The Future: 3045 karya Arif Furqan ini menghadirkan tur historis mandiri lewat instruksi dari permainan yang hadir pada browser peserta. Permainan ini terdiri dari beberapa stage di mana setiap stage memiliki fragmen narasi dari sejarah mengenai Jalan Asia Afrika di Kota Bandung yang merupakan bagian dari Jalan Raya Pos usulan Daendels. Peserta diarahkan dan dapat mengakses stage lewat QR Code yang disebar di beberapa titik antara lain: Pertigaan Jalan Banceuy dan Asia Afrika (dekat Kantor Pos Indonesia Bandung), sekitar Gedung Bank Rakyat Indonesia Dewi Sartika, Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) Asia Afrika, Air Mancur Jalan Asia Afrika (Jembatan Sungai Cikapundung), dan buku saku yang diberikan oleh aktor di lokasi sebelumnya.


Permainannya cukup sederhana, peserta hanya perlu mengeksplorasi lanskap baik secara langsung maupun virtual (contoh: Google Map) dan memahami narasi sejarah melalui media audio hingga tuturan dari aktor. Sudo adalah pengarahan rute perjalanan – bisa juga pengarah permainan. Di sini ia pun menceritakan narasi sejarah. Selain membangun retorika permainan, ia pun menjadi media pedagogi untuk memahami konteks sejarah dari Jalan Asia Afrika. Glitch of the Future: 3045 bukan hanya sebagai tur historis, melainkan mengandung unsur-unsur dalam situated play.

James Paul Gee ialah salah satu yang membahas situated play dengan mengembangkan teori situated learning yang dikenalkan oleh Jean Lave dan Etinen. Gee membahas bagaimana konteks edukasi dan permainan memiliki hubungan yang erat. Situated play memiliki output bagaimana konstruksi dari sebuah permainan memiliki konteks dengan kejadian sesungguhnya. Hal ini didapatkan dari partisipasi dan interaksi pemain terhadap permainan. Singkatnya permainan ini merefleksikan apa yang ada di dalam permainan pada keadaan sesungguhnya.


Hal ini terlihat jelas dalam karya Arif Furqan. Karyanya berbicara mengenai sejarah Jalan Asia Afrika yang tidak luput dari konteks penjajahan. Contohnya dalam audio yang harus didengarkan ketika pemain berada di JPO Asia Afrika. Dalam audio tersebut seorang laki-laki bermonolog mengenai keadaan Jalan Asia Afrika dulu dan hari ini. Penyampaian yang puitik membawa pemain membayangkan kelamnya pembangunan jalan ini. Ditambah laki-laki tersebut menginstruksikan untuk melihat ke arah Jalan Asia Afrika. Pengalaman yang membawa pada situasi nostalgia dan membangun kesadaran sejarah.

Unsur pendukung lainnya ialah menghadirkan aktor yang berperan sebagai salah satu pekerja yang membangun Jalan Asia Afrika. Penampilan yang penuh luka dari aktor tersebut mencoba meyakinkan pemain bahwa Jalan Asia Afrika ini memiliki sejarah kelam – narasi tandingan dari Bandung sebagai kota pariwisata. Selain itu Arif Furqan ingin menampilkan tokoh marginal dari sebuah sejarah, yaitu kelas pekerja. Hanya saja pilihan penggunaan aktor saya rasa harus dipertimbangkan ulang karena selain pembawaan yang kaku, kehadiran aktor menghilangkan imajinasi mengenai sejarah kelam yang sudah dibangun dengan baik oleh audio monolog. Pembesaran narasi lewat pembesaran media (expanded media) perlu dipikirkan ulang.





Setelah konteks lampau dan hari ini, Arif Furqan melentingkan konteks masa depan. Dalam desain permainannya ia menanyakan tentang ketidakadilan yang terjadi di masa kini. Ia melontarkan konteks sejarah dari Gedung Merdeka atau Societiet Concordia dan patung portrait Daendels lalu dibenturkan dengan keadaan hari ini. Ia membangun ruang refleksi bagi pemain setelah pengetahuan dasar dan empati mengenai sejarah telah terbentuk. Di sini pemain harus menuliskan refleksinya pada kolom ulasan lokasi di Google Map. Apa yang pemain tulis tercatat dalam database Google Map dan akan dibaca oleh siapapun yang melihat ulasan lokasi tersebut. Pemain semacam membuat prasasti untuk masa depan.


Situated play
yang diciptakan dalam Glitch of the Future: 3045 lebih condong pada naratologi dibandingkan dengan ludologi. Ia berpijak pada penceritaan narasi sejarah hingga refleksi pemain. Permainan ini kaya akan narasi dan makna. Hal ini adalah poin utama dalam mencapai situated play. Walau sayangnya gameplay-nya sangat sederhana. Pemain sepenuhnya digerakan oleh narasi, bukan gameplay. Sehingga aktor sebagai pembesaran narasi dengan menggunakan pembesaran media kurang tepat sasaran karena ludologi luput dari pengolahan. Beruntungnya permainan ini tidak terlalu cerewet, karena sepengalaman saya permainan yang berbasis naratif memiliki kecenderungan melakukan info dump karena tidak dapat mengolah retorika.

Berbicara permainan tidak lepas dari apa yang disebut Huizinga sebagai magic circle. Pengalaman bermain hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang memainkannya. Terlebih permainan ini memiliki konten yang hanya dirasakan dengan intim seperti membaca narasi, mendengarkan audio, dan sebagainya. Sebagai penutup saya melontarkan pertanyaan yang berhubungan dengan unsur dari game design, yaitu influence dan replayability. Perlukah memikirkan seseorang yang berada di luar magic circle untuk mengerti konteks dalam permainan sebagai penonton? Lalu bagaimana permainan ini dapat terus dimainkan setelah senimannya pulang?

 

Tentang Penulis


Rizal Sofyan
(l. Rangkasbitung, 1996) adalah seorang seniman, peneliti, dan dosen yang berbasis di Rangkasbitung-Bandung. Ia menekuni performance dan game dalam karya dan penelitiannya. Ia merupakan dosen jurusan teater ISBI Bandung. Tahun 2022 bergabung di Tilik Sarira Creative Process sebagai seniman kolektif dan peneliti. Lalu di tahun 2023 mendirikan Taman Ludens, platform penelitian artistik mengenai seni dan gim.