Catatan Refleksi Lokakarya Pra-residensi Pseudo-Entertainment #1
oleh John Heryanto

Néléngnéngkung- néléngnéngkung
Geura gede geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Geura makayakeun indung
Néléngnéngkung- néléngnéngkung
Geura gede geura jangkung
Geura bisa talang tulung
Ka bapa reujeung ka indung
Néléngnéngkung- néléngnéngkung
Geura gede geura jangkung
Geura sakola sing jucung
Manggih kapusing tong bingung
Néléngnéngkung- néléngnéngkung
Geura gede geura jangkung
Nagara kudu dijungjung
Dihormat dipunjung-punjung
Nilingningnang-nilingningnang
Ulah waka senang-senang
Diajar ulah kapalang
Kabéh sualan sing beunang
Ku indung dipunjung-punjung
Ku bapa didama-dama
Reup deungdeung talaga tisuk
Reup sakeudeung nepi ka isuk
Lagu tersebut sering kali dinyanyikan oleh ibu-ibu di Tasikmalaya dan Ciamis (Jawa Barat) pada tahun 1920 hingga tahun 2000an ketika mengayun-ambing bayi ‘mepende’ agar tertidur. Senandung penghantar tidur dan doa agar sang anak kelak dapat pergi ke Bandung. Bandung memang sejak semula ketika kota tersebut terbentuk dibayangkan sebagai tempat tujuan, tempat yang diimpikan. Mulaya sebagai tempat untuk liburan para tuan tanah Belanda pemilik perkebunan sekitar Priangan. Lalu jadi rumah bagi para ‘juragan’ atau menak/bangsawan Priangan bersamaan dengan dibangunnya jalan pos Anyer Panarukan oleh Daendels untuk mempermudah lalu lalang pengangkutan hasil tanam paksa.
Bandung dibayangkan sejak semula sebagai tempat ‘ulin’ / wisata dengan banyak taman dan tempat tinggal kaum elit ‘juragan’ sejak 1810 hingga kini dengan beragam slogan: Ex Undis Sol, Bandung Gemah Ripah Wibawa Mukti, Bandung Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat, dan Bersahabat), Bandung Berhiber (Bersih, Hijau, Berbunga), dan Bandung Juara. Sekema bandung sebagai rumah ‘juragan’ terus dilanjutkan dan makin kentara ketika pemerintahan Ridwan Kamil; kampung kota banyak digusur dengan alasan kumuh lalu disulap jadi taman adan apartemen mewah. Namun sebelum massif sama Ridwan Kamil, penggusuran kampung kota di Bandung telah dimulai sejak era Dada Rosada.
“Kota kreatif, indah, indeks kebahagiaan, nyaman, tertata, kondusif, menertibkan” adalah beberapa kata kunci yang sering diucapkan oleh Pemerintah kota Bandung dalam menggusur pemukiman warga kampung kota. praktik merampas ruang hidup warga oleh Pemerintah Bandung ini sangat bertolak belakang dengan Dasasila Bandung atau semangat bandung yang anti kolonial.
Masa lalu, hari ini dan masa depan dalam waktu sunda, ia berlangsung bersamaan dalam ruang dan waktu yang sering kali diperlambangkan dengan buah kelapa dalam setiap sajen ruwatan kampung. Mirip dengan masyarakat adat Lampung yang melihat masa lalu itu di atas dan masa depan itu di bawah sebagaimana aliran sungai, ke atas mudik dan ke bawah mulang. Namun urang Bandung (warga biasa) dalam waktu kota Bandung /sejarah resmi yang mengandaikan adanya awal dan akhir dari perjalanan sebuah kota, itu tidak pernah ada/ tidak pernah dituliskan oleh Pemerintah.
Bandung menurut kisah lisan dari kata Bendung yaitu menghadang atau membendung air/danau seperti dalam kisah bandung purba, dan bandang/ ngabandang yaitu mengambil sesutu dari alam. Dari alam itulah manusia bandung hidup seperti kisah-kisah lisan sangkuriang, lutung kasaraung, purbasari, dan lain-lain. Bila waktu itu manusia Bandung membendung bencana alam, lalu apa yang akan kita bending hari ini? Dan apa yang akan kita bandang?