Catatan observasi/refleksi lokakarya pra-residensi Pseudo-Entertainment #1
oleh Gelar Prakosa
Jika ada satu kesimpulan yang dapat ditarik dari pertemuan lokakarya yang dibawakan oleh Ugoran Prasad, barangkali kesimpulan itu adalah segala bentuk kegiatan manusia bisa diartikan sebagai sebuah performance atau pertunjukan. Baik itu kegiatan harian yang dapat kita lihat setiap hari atau hal-hal lain di atas sana, di level pemerintahan, yang semua bergerak dan berjalan seperti business as usual. Dalam locus pengkaryaan kali ini kita bisa melihat bagaimana Kota Bandung tidak tercipta dari ruang hampa. Ada banyak lapisan dan entitas yang membentuknya, di antara lapisan-lapisan yang berjalin kelindan itu, masih banyak hal yang tertimbun, tertumpuk dan terlupakan. Lalu kita juga menyadari bagaimana gerak dan pertunjukan “di atas” sana dapat membentuk suatu imaji tentang sebuah kota. Bagaimana sebuah slogan pendek yang mereka jargon kan dapat membentuk sebuah perspektif di mata “penonton” pertunjukan kota tersebut.
Dramaturgi dalam konteks kota, jika saya tidak salah memahami, juga dapat disamakan dengan aturan-aturan yang berlaku di sebuah kota. Sedangkan kerumunan adalah citizen yang teradikalisasi. Dengan adanya kerumunan, citizen dapat membentuk musyawarah warga tertentu. Kumpulan orang ini akan membuat suatu ide dan memiliki kekuatan atau daya untuk menata taktik dengan lebih kolektif. Gagasan tentang counterpublic ini juga berbicara tentang bagaimana kehadirannya dapat mengubah sesuatu dan ini juga dapat digunakan sebagai alat bagi negara untuk menciptakan kerusuhan dan kekacauan agar posisi negara sebagai penegak order itu terlihat.
Kelompok seni atau kumpulan seniman individual yang bergerak, mengatur dan bekerja jangka waktu tertentu, mereka dapat membentuk sebuah musyawarah untuk menentukan sebuah sikap. Mereka nantinya dapat melihat dan mengamati bagaimana ruang hidup itu terbentuk dan apa yang mungkin diupayakan atas ruang itu. Koreografi sosial adalah suatu juga peristiwa yang didapat dari praktik-praktik yang dilakukan komunitas yang lambat laun dikembangkan sebagai sebuah metode. Dalam hal ini Saras Dewi menjelaskan koreografi sosial ini melalui pengamatannya dalam tari Seblang dari banyuwangi, untuk kemudian menyelami bagaimana kerasukan dan bagaimana dalam tari seblang itu tidak hanya melibatkan tubuh penari saja, tapi juga audience. Tari ini dibentuk oleh komunitasnya dan dibentuk oleh sebuah proses yang panjang. Tari ini juga ungkapan keresahan warga tentang degradasi lingkungan dan menyempitnya ruang hidup yang mereka alami. Melalui sebuah koreografi sosial, apakah kita nantinya bisa membayangkan jika hidup perkotaan memang sebuah hal umum tentang ketimpangan dan sebagai sebuah kondisi yang terberi?
Melalui Pseudo Entertaiment ini mungkin kita dapat membayangkan kota yang tidak terberai oleh kebencian dan homogenitas. Mungkin juga bagaimana jika multikultural di kota nantinya dapat dihayati sebagai sebuah kemungkinan-kemungkinan itu. Untuk kemudian bagaimana menampilkan sebuah ketimpangan sosial dapat diimajinasikan sebagai sebuah karya seni. Bagaimana nantinya seniman menangkap siluet-siluet kemiskinan dan ketimpangan di sebuah kota atau wilayah. Sebuah karya yang nantinya ditampilkan lebih dari yang estetik dan indah. Bagaimana kesenian dapat memiliki makna dan lebih dari sekadar beautifikasi sebuah kota. Bagaimana karya seniman itu tidak hadir bagi dirinya sendiri tapi juga bagi masyarakat sosial.
Saya juga sempat riset singkat terkait penjelasan Saras Dewi tentang Fuko yang mendokumentasikan Paris sebagai kota cinta dan cahaya yang pada proses pembangunannya meminggirkan kelas-kelas yang termarjinalkan. Sehingga kota dan ruang seolah hanya tersedia bagi mereka yang layak ditampilkan. Contoh lain dapat dilihat pada karya The Lovers, karya Yola Yulianti jika saya tidak salah ingat, sebuah karya yang menampilkan kota sebagai tempat yang tidak memberikan ruang pada cinta. Hanya kerja-kerja dan mengejar materi sampai mati. Karya tersebut juga menceritakan bagaimana tubuh tak terlepas dari norma-norma sosial dan seperti tak dibiarkan mencium atau menikmati tubuh lain tanpa terikat dari nilai dan batasan tersebut. Sebab tubuh itu sekunder dari yang jiwa dan batin (dalam pengertian ini kesadaran dan pikiran).
Dalam Koreografi Sosial juga terdapat sebuah pengertian tentang bagaimana memahami sebuah keberagaman. Pada hal ini kita dapat kembali melihat tari tengger coba meruntuhkan glorifikasi yang telah kita bangun pada klasifikasi. Pada tari ini banyak tanaman dan bunga-bungaan dipakai sebagai syarat ritual dan sebagai aksesoris yang pada pandangan kita yang lain tanaman liar dan bunga-bungaan ini dapat menjadi simbol resiliensi pada tarian seblang.
Pada sesi Ayos Purwoaji saya kembali memiliki perenungan terhadap wilayah. Bagaimana wilayah dalam arti ini darat dan laut mulai dibagi-bagi dalam petak dan mulai dimiliki oleh perorangan. Dalam sesi ini, seperti yang telah kita dengar bersama, juga bercerita tentang apakah seni masih dibutuhkan oleh orang-orang yang tercerabut oleh sistem negara dan terpinggirkan? Misal di sebuah kota ada sekumpulan orang yang menempati bagian tol yang tertutup. Mereka membangun perumahan dan pemukiman liar dengan menggunakan material yang ada. Demi eksistensi mereka, mereka mengusahakan bagaimana pemukiman yang mereka bangun di bawah jembatan ini tidak meluber ke bagian jalan tol yang terbuka. Inilah yang tak selalu tampak pada sebuah kota.
Salah satu contohnya lagi adalah jalan-jalan tikus yang tak pernah tampak pada peta resmi sebuah kota atau wilayah. Dari keberadaan yang tidak tampak ini nantinya kita dapat belajar lebih banyak. Dari sanalah kita dapat melihat aspek-aspek lain dari sebuah kota. Bahwa apa yang visible itu selalu dianggap yang penting namun yang invisible itu sering dianggap tidak penting. Sebab saya juga melihat modus lupa selalu dimiliki sebuah wilayah atau kota. Manusia cenderung mengubah atau meruntuhkan hal-hal yang tidak lagi relevan dengan zaman. Seperti bagaimana orang-orang tak lagi menziarahi makam-makam yang dilupakan karena penenggelaman untuk dijadikan waduk.
Namun masih dalam melihat fenomena yang sama pada sebuah kota, kita juga disuguhi tontonan tentang bagaimana yang hidup dan yang mati saling berdialog. Seperti misalnya sosok pemuka agama dari masa lalu yang dimakamkan di tengah kampung. Lalu warga dan orang dari luar kota tersebut datang untuk menziarahi dan meminta petunjuk di makam tersebut. Laku macam ini (menurut apa yang saya pahami) dulu juga digunakan para penjajah untuk tetap dapat mengontrol orang-orang yang masih masih berpegang teguh pada logika mistika. Sebuah cara pikir yang membuat orang memiliki kecenderungan untuk enggan menumbuhkan pertanyaan.
Mengutip kata-kata pada sesi Aan Mansyur, ia dapat memandang laku menulis bukan sebagai ruang produksi gagasan yang sudah jadi, tetapi sebagai sepetak lahan untuk mengusahakan penciptaan ulang masa kini yang berbeda; tanah di mana ia membiarkan ide-ide tetap liar; ruang hidup di mana putusan akhir penghakiman selalu bisa ditangguhkan. Ia ingin mengalami kerja produksi pengetahuan sebagai semacam tindakan merawat rimbun hutan pertanyaan. Ia juga menambahkan menjadi penulis berarti menggunakan dan digunakan, menguasai dan dikuasai; membentuk dan dibentuk, menciptakan dan diciptakan; menghapus dan dihapus. Sebab craft, seperti juga penulis, dibentuk oleh budaya dan mencerminkan budaya, dan dapat berkembang untuk melawan serta membentuk kembali sebuah budaya. Aan dengan caranya menggunakan kekuatan bahasa sebagai media untuk menyampaikan ide-ide dan gagasannya dalam “membentuk sebuah dunia”.
Dalam konteks pengkaryaan yang saya lakukan, saya sangat terkait dengan ide-ide tentang kota dan segala yang tidak visible di dalamnya. Sebab hal ini mendorong kita untuk lebih melihat siluet lain manusia yang jarang terlihat oleh khalayak. Saya membayangkan program pra-residensi ini nantinya dapat memberi sudut pandang lain tentang yang invisible pada sebuah kota. Dengan melihat apa yang tidak terlihat, mungkin kita nantinya akan mampu melihat segala kemungkinan baru bagi harapan akan hari esok yang lebih baik.