Geseran/Grusa-Grusu Diri dalam Seni dan Kota

sebuah refleksi autobiografis (catatan observasi lokakarya pra-residensi Pseudo-Entertainment #1)

Oleh Gladhys Elliona

Saya lahir dan besar di Jakarta dan Depok—tubuh dan pikiran saya kadung diwarnai oleh kepercayaan sentralistik, megapolitan dan ibukota negara. Semua itu tentu tanpa saya punya mau. Privilese mengalir dalam sendi-sendi masa kecil saya; saya pernah mengalami mudik ke kampung halaman ibu saya di Wonogiri dengan pesawat, mobil dan kereta. Dengan kata lain, sejak kecil, saya sudah diperlihatkan betapa di pulau Jawa ini ada kota-kota lain yang bisa dikunjungi. Malangnya, orangtua saya akan mengajak saya kembali pulang ke Jakarta/Depok untuk menjalani keseharian yang menurut mereka ideal: hustle

Sejujurnya saya tidak tahu bagaimana menerjemahkan kata hustle ke Bahasa Indonesia. Yang saya tahu, sejak TK hingga SMA saya dibiasakan untuk hidup sebagai penglaju (commuting), senantiasa harus bergerak cepat dan tepat dalam orkestrasi hidup antarkota. Entah mengapa, saya masih bisa melatih sensitivitas seni dan bahasa di antara hidup yang penuh hustle; seperti di sekolah dan apa yang ditunjukkan oleh kerja-kerja orangtua saya. Sebagai anak, saya akan berfokus melihat ke bagaimana orang-orang bertindak, berperilaku: mendengarkan bermacam cerita aneh supir jemputan (dan mengingatnya hingga dewasa), melihat Papa saya ngobrol dengan penjual makanan di jalanan, melihat Ibu saya rapat dengan bawahannya di mall tempat ia bekerja, menonton film yang dibintangi uwak saya. Jika saya mengingat kembali; begitu dekatnya hidup saya dengan performativitas kota dan begitu cepatnya saya menyerapnya dalam tubuh dan pikiran. Saya sudah berteater saat kelas 3 SD di sekolah dan bahkan sudah tampil sebagai aktor cilik di Festival Mendongeng di Bentara Budaya Jakarta pada tahun 2005. Saya selalu didorong untuk berprestasi, menjadi menonjol sama dengan mampu bertahan. Begitu saya diajarkan untuk hustle sejak kecil, dan itulah bagaimana seni dan kota mendarah daging di diri saya; tanpa tahu ia pelan-pelan menggerogoti dari dalam.

Semuanya berubah ketika keluarga saya mengalami krisis yang membuat saya mesti adaptif bersiasat dengan kota. Sewaktu TK dan SD, saya melihat angkot sebagai moda rekreasi, tapi saat SMP, angkot berubah menjadi kunci hidup saya. Kalau kehabisan angkot, saya akan sulit pulang dan harus keluar uang lebih banyak buat ojek. Teman-teman mulai bicara soal bimbingan belajar, les bahasa Inggris, telepon genggam mode baru, laki-laki ganteng di SMA sebelah atau di Korea; saya memilih berkutat di perpustakaan sendirian. Saya meninggalkan teater sementara karena anak-anak ekskul rata-rata “cewek eksis”, dan saya berpindah haluan ke jurnalistik di mana saya merasa aman berekspresi via tulisan—dengan atau tanpa teman. Kesendirian dan rasa terkucil membuka mata saya tentang kenyataan kota yang lebih luas. Saya sudah bisa menentukan musik atau film apa yang saya suka tanpa disetir kelompok pertemanan. Saya sudah bisa membedakan jurusan angkot mana yang dikendarai supir Jawa atau Batak. Saya sudah bisa melihat perbedaan demografi dan sosioekonomi sekolah swasta di Jakarta dan Depok melalui kebiasaan tawuran atau ke mall mana mereka bergaul di hari Jumat sore.

Perubahan pola hidup yang agak drastis ini mempersiapkan saya ke kenyataan lebih ugal-ugalan saat SMA—di mana saya harus naik KRL jam lima pagi setiap hari dari Depok ke Kalibata. Penumpangnya sudah bisa ditebak di jadwal yang sama; saya hafal betul muka orang-orang yang menempati gerbong terakhir dan di mana mereka akan turun. Waktu SMA saya rebel juga; hobi saya adalah melawan guru arogan. Saya kembali berteater dan memerankan seorang guru Biologi yang hobi mengatasi siswa “kodok”; tawa seluruh sekolah membahana dan tak berapa lama guru Biologi menghampiri saya untuk meminta maaf—benar saja, ia tidak pernah melakukannya lagi. Saya juga pernah memimpin “perlawanan” kepada wali kelas yang semena-mena mengubah hasil pemungutan suara karya wisata dan di OSIS. Atau sok-sokan menantang ke guru Sosiologi, bilang bahwa di angkatan saya semua orang tidak suka dengan dia—yang juga berujung pada minta maaf ke siswa sekelas. Ini juga belum dengan keterlibatan saya yang semakin intens di lembaga swadaya masyarakat internasional; belajar protes di isu-isu kepemudaan serta kegiatan jurnalistik di majalah nasional. Hustle perkotaan yang menempel pada saya menjelma koreografi dan dramaturgi—dengan kata lain, entah dipaksa atau tidak, hidup saya sudah sangat performatif tanpa saya menjadi seorang aktor.

Saya tidak bisa tidak personal ketika berbicara mengenai topik seni dan kota. Ia terlalu dekat dengan apa yang membangun saya sebagai seorang manusia hingga saat ini. Ketika saya sudah lebih dewasa, saya mulai mengenal banyak jargon seperti yang disampaikan dalam kelas-kelas kuliah bahkan dalam pengembangan proses kreatif. Lalu saya berpikir, “oh, jadi begini ya, memberi nama pada fenomena yang selama ini saya alami sendiri?”; “oh, ternyata apa yang saya alami ini bisa ditelaah secara teoritis dan artistik.” Dengan atau tanpa menjadi seorang penulis atau seniman, terlebih dari latar belakang masa kecil yang berkecukupan, apa mungkin saya akan memiliki kesadaran ini?

Kini saya tahu, bahwa alih-alih saya menjadi bagian dari seni dan kota, seni dan kota lah hidup dalam saya. Kemanapun saya pergi dan mencoba menghilangkannya, saya belum mampu. Karya tulis dan seni saya akan selalu tentang kerinduan saya bertemu lanskap hijau dan laut; hal yang sebenarnya lebih alami, dan saya begitu artifisial (apakah kota dalam diri saya selalu artifisial?). Saya akan selalu membawa masa kecil Jakarta-Depok saya kemanapun saya pergi. Saya akan selalu menjadi seorang multilingual, multi bahasa di dunia yang multi korporeal. Hidup saya berlapis-lapis, dan saya belum mampu melepas ketebalan lapisan yang kebanyakan adalah buatan manusia itu. Pertanyaaan selanjutnya; haruskah saya melepasnya? Apa yang saya bisa lakukan dengan modal yang sebenarnya tak pernah saya minta ini? Bagaimana saya membagi yang perlu dan/atau membuang yang tidak perlu?

Saya adalah perempuan yang selalu bersembunyi di bawah ketiak seni dan kota. Di tempat yang selalu membuat saya tidak begitu aman; saya mencari cara untuk menjadi aman, alih pergi. Begitukah diri saya, selamanya kecanduan seni dan kota?

***

Gladhys Elliona adalah penulis, peneliti seni multidisiplin, dan penerjemah. Dialulusan Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada. Sebagai peneliti, pernah tergabung di Future Advisory Board, Performance Studies international dan Asian Arts Media Roundtable 2021 di Singapore International Festival of Arts. Saya pernah mempresentasikan hasil penelitian di berbagai konferensi virtual, seperti International Graduate Student Conference, East-West Center University of Hawai’i Manoa (2021 dan 2023) serta DTSA Graduate Student Virtual Conference 2021, City University of New York. Gladhys juga pernah menjadi Koordinator Riset untuk Indonesian Dance Festival dan Perkumpulan Nasional Teater Indonesia. Selain meneliti, dia juga menulis fiksi dalam bahasa Indonesia dan menerjemahkan berbagai buku sastra Brasil. Gladhys pernah aktif sebagai aktris di berbagai produksi seni pertunjukan dan film di skala nasional dan internasional sejak tahun 2014. Sebagai seorang aktris, beberapa keterlibatan terakhirnya adalah di International Comedy Festival di Gori, Georgia (2017) membawakan Biduanita Botak, musikal Gemintang dengan Teater Koma (2018), Indonesian Dramatic Reading Festival (2018 dan 2019), Vulcrum (2021) dan Memori yang Terkubur di Halaman Belakang (2023). Pada tahun 2024, saya menjalankan residensi di Brasil dan membuat film dokumenter Mãe Menjaga Masjid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *