1.
Amatan/ Refleksi Lokakarya dari Ma’rifatul Latifah terhadap “City as and is Performance” – Ugoran Prasad.
Lokakarya ini membahas konsep kota sebagai pertunjukan (City as Performance) dan kota sebagai entitas nyata (City is Performance), dengan merujuk pada gagasan Richard Schechner terkait performativitas dalam berbagai aspek kehidupan kota. Kota tidak hanya berfungsi sebagai ruang pertukaran sumber daya, tetapi juga sebagai arena dimana aturan sosial, kebijakan, dan ideologi beroperasi dalam bentuk performatif.
Kota sebagai Pertunjukan
Kota membangun citra tertentu yang dikonstruksi untuk kepentingan ekonomi, politik, dan sosial. Misalnya, Jakarta sebagai kota budaya dan investasi, Bandung sebagai kota kreatif, dan Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Pembangunan kota seringkali merupakan strategi yang mengatur perilaku warga, baik secara eksplisit melalui regulasi maupun secara implisit melalui norma sosial. Kota dapat dipahami sebagai pertunjukan dalam arti bahwa segala aktivitas di dalamnya memiliki struktur dramaturgi tertentu. Richard Schechner menjelaskan bahwa performans tidak hanya terjadi dalam seni, tetapi juga dalam kehidupan sosial, seperti cara kita berinteraksi, berpakaian, dan bertransportasi. Kota memiliki aturan main yang membentuk bagaimana warga berperilaku, mulai dari tata lalu lintas hingga cara hidup sehari-hari. Sejarah Jakarta sebagai kota modern menunjukkan bagaimana kota dipertontonkan ke dunia luar, misalnya melalui pembangunan pusat kebudayaan seperti Taman Ismail Marzuki pada era Ali Sadikin.
Strategi vs. Taktik dalam Kota
Konsep Michel de Certeau tentang strategi (dibangun oleh pemegang kekuasaan) dan taktik (dilakukan oleh warga dalam merespons aturan yang ada). Contohnya, pembangunan pembatas jalan sebagai strategi pemerintah, sementara warga merespons dengan melompati pagar atau mencari jalur alternatif. Strategi dibuat oleh pihak yang berkuasa untuk mengatur kota (misalnya regulasi lalu lintas, perencanaan kota). Taktik dilakukan oleh warga untuk menyesuaikan atau melawan strategi tersebut (misalnya parkour yang muncul sebagai respons terhadap struktur kota). Contoh nyata: pembangunan pembatas jalan sebagai strategi pemerintah untuk mendisiplinkan lalu lintas, sementara warga merespons dengan taktik seperti melompati pagar atau mencari jalan alternatif. New York, bangku stasiun dibuat tidak nyaman agar tunawisma tidak tidur di sana – ini adalah strategi pemerintah yang kemudian dihadapi dengan taktik warga.
Kewargaan (Citizenship) dalam Kota
Warga kota tidak hanya menjadi penonton tetapi juga aktor yang menjalankan skenario perkotaan. Citizenship (kewargaan) dapat dilihat sebagai performans, di mana warga harus beradaptasi dengan aturan yang ada. Pada sebuah kota, terdapat publik yang mengikuti aturan dan counter-public yang melawan aturan yang dominan. Perlawanan warga bisa berbentuk aksi politik maupun seni performatif, seperti aksi ibu-ibu Kendeng yang menanam kaki di semen sebagai protes terhadap pembangunan pabrik semen.
Pengaruh Ideologi Dominan dalam Kota
Ugo menyoroti bagaimana ideologi dominan sering kali menentukan bagaimana kota dipertunjukkan. Representasi kota sering kali parsial dan tidak mencerminkan semua warganya. Contohnya, proyek teater 100% Jogja yang mencoba merepresentasikan demografi kota, tetapi sebenarnya menggunakan metode yang tidak benar-benar mewakili realitas. Negara sering kali menggunakan pertunjukan untuk mengalihkan isu sosial, seperti pembangunan monumen dan festival sebagai strategi politik. Seni sebagai bagian dari kota bisa menjadi alat yang mempertebal atau menantang ideologi dominan.
Mimikri dan Representasi dalam Seni Kota
Ada bahaya ketika seni hanya mereplikasi strategi negara tanpa mempertanyakan implikasi politiknya. Contoh dari teater dokumenter seperti “100% Jogja” yang dikritik karena mengklaim representasi kota tetapi tetap bersifat parsial. Shannon Jackson – Social Works disebut sebagai referensi untuk memahami bagaimana seni dapat berfungsi sebagai praktik sosial.
Dampak Sosial dari Pertunjukan Kota
Beberapa seniman dan aktivis telah menggunakan seni sebagai alat untuk menantang kebijakan kota, seperti aksi ibu-ibu Kendeng dalam protes tambang semen. Diskusi tersebut juga menyoroti pentingnya keterlibatan warga dalam membentuk strategi kolektif dalam menghadapi kebijakan yang menekan mereka. Dalam proyek seni yang melibatkan warga, ada pertanyaan tentang batasan antara representasi dan eksploitasi. Contoh dari Akira Takayama – The Complete Manual of Evacuation Tokyo menunjukkan bagaimana pertunjukan bisa memperlihatkan realitas sosial, tetapi tanpa memberikan solusi nyata. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah seni harus selalu menghasilkan perubahan konkret, atau cukup dengan meningkatkan kesadaran?
Kesimpulan
Kota adalah ruang pertunjukan yang terus berkembang, dengan warga sebagai aktor dan penonton sekaligus. Ada pertarungan antara strategi negara dan taktik warga dalam membentuk kehidupan kota. Seni dapat menjadi alat untuk mengungkap atau menantang struktur kekuasaan dalam kota, tetapi harus dilakukan dengan kesadaran etis. Penting untuk memahami bagaimana ideologi bekerja dalam kota agar kita tidak secara tidak sadar memperkuat sistem yang sudah ada. Gagasan-gagasan Ugo dalam lokakarya ini mengajak peserta untuk melihat kota tidak hanya sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai arena sosial dan politik yang dipenuhi dengan berbagai bentuk pertunjukan, baik yang disengaja maupun tidak.
Referensi:
Butler, Judith. 2009. “Performative Acts and Gender Constitution” The Johns Hopkins University Press. Theatre Journal, Vol. 40, No. 4 (Dec., 1988). http://www.jstor.org/stable/3207893
Certeau, Michel de. 1988. The Practice of Everyday Life. Berkeley: University of California Press.
Debord, Guy. 2005. The Society of the Spectacle. London: Rebel Press.
Jackson, Shannon. 2006. Social Works: Performing Art, Supporting Publics. New York: Routledge.
Ridout, Nicholas. 2009. Stage Fright, Animals, and Other Theatrical Problems. Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511617669
Schechner, Richard. 2020. Performance Studies: An Introduction. London: Routledge.
Eickelman, Dale F. (2002) “The Arab “Street” and the Middle East’s Democracy Deficit,” Naval War College Review: Vol. 55: No. 4, Article 5. : https://digital commons.usnwc.edu/nwc-review/vol55/iss4/5
2.
Amatan/ Refleksi Lokakarya dari Ma’rifatul Latifah terhadap “Rethinking (Through) My Language—& Craft – Aan Mansyur
Lokakarya yang diadakan bersama Aan Mansyur membahas berbagai aspek praktik kesenian, khususnya dalam konteks seni dan sastra. Beberapa poin utama dari lokakarya ini adalah:
- Pendekatan dalam Berkesenian
Aan Mansyur berbagi pendekatan dan strategi kreatifnya dalam menulis dan berkarya, termasuk penggunaan medium fotografi sebagai bagian dari eksplorasi kreatifnya. Perlunya memahami ulang teknik dan medium yang digunakan dalam berkarya, serta bagaimana bahasa menjadi alat utama dalam penyampaian pesan.
- Dekolonisasi dalam Seni
Aan menyoroti pentingnya mendekolonisasi praktik seni dengan memikirkan ulang teknik yang digunakan serta bagaimana kolonialisme masih berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam praktik kesenian. Mengutip pidato Sukarno di Konferensi Asia-Afrika untuk menjelaskan bahwa kolonialisme hadir dalam berbagai bentuk, termasuk dalam kontrol ekonomi dan intelektual.
- Estetika, Etika, dan Anestesi dalam Seni
Aan memperkenalkan konsep anestesthetics, yang menggabungkan estetika dan etika dalam seni. Ia menjelaskan bahwa estetika sering kali digunakan sebagai alat untuk membius atau mengontrol persepsi. Serta membahas bagaimana seni seharusnya membantu seseorang untuk melihat realitas dengan lebih jernih, bukan justru mengaburkannya.
- Pentingnya Perspektif dan Jarak dalam Berkarya
Aan menekankan bahwa dalam menciptakan karya, seorang seniman harus bisa mengambil jarak agar bisa memahami dan menentukan sikap terhadap apa yang sedang terjadi. Konsep keindahan dalam seni tidak selalu bersifat universal, melainkan tergantung pada siapa yang memiliki kendali terhadap definisi tersebut.
- Peran Bahasa dalam Imajinasi dan Realitas
Aan membahas bagaimana bahasa mempengaruhi cara kita memahami dunia dan bagaimana sistem aksara tertentu dapat mengubah cara berpikir seseorang. Ia
menyinggung bagaimana aksara Bugis, Pegon, atau aksara Jepang bisa menghadirkan dunia yang berbeda jika digunakan secara luas.
- Tindak Lanjut dan Diskusi Lanjutan
Lokakarya ini diakhiri dengan ajakan untuk tetap berdiskusi dalam grup yang telah dibuat, serta beberapa rencana lanjutan termasuk kemungkinan residensi bagi peserta.
Ugo Praasad menambahkan beberapa hal, diantaranya a) Hubungan antara sastra dan teater, ia menyoroti bagaimana beberapa sastrawan, seperti Afrizal Malna, mengalami kesulitan dalam menyelesaikan puisi mereka dan beralih ke teater sebagai bentuk ekspresi alternatif. Teater memiliki tegangan antara “kekinian” dan “kesegeraan”—artinya, bagaimana sebuah teks harus mampu menjawab kebutuhan zaman serta menyampaikan pesan secara langsung. Ugoran juga mengutip Borges yang pernah mengatakan bahwa ia menulis untuk aktor-aktor yang sudah dikenalnya, sehingga ada unsur personal dalam penyampaian naskah. b) Adanya Peran Bahasa dalam Seni dan Identitas, menekankan pentingnya memahami tegangan antara bahasa sebagai medium berpikir dan ketubuhan dalam bertindak. Dalam teater, bahasa tidak hanya sebagai teks tetapi juga sebagai sesuatu yang melekat pada tubuh para aktor. Bagaimana arsip dan dokumentasi dalam teater sering kali menjadi jebakan bagi pekerja seni, di mana mereka lebih fokus pada pencatatan ketimbang eksplorasi. c) Bahasa indonesia sebagai identitas dan medium ekspresi, Ugoran membahas posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa yang tidak dimiliki oleh satu kelompok tertentu, namun tetap ada upaya untuk mengklaim dan mengontrolnya. Semangat bahasa Indonesia datang dari bawah dan jalanan, bukan dari struktur atas yang mendikte penggunaannya. Bahasa selalu beradaptasi dengan kondisi sosial dan budaya, serta mempertanyakan bagaimana bahasa Indonesia dapat berkembang tanpa kehilangan esensinya. d) Kajian antara performance dan literatur, dalam dunia akademik bahasa Inggris, terdapat kajian yang menghubungkan performance dan literatur sebagai dua bentuk ekspresi yang saling berinteraksi. Indonesia, kajian ini masih jarang, padahal bahasa memiliki peran penting dalam membentuk pemahaman dan ekspresi dalam seni pertunjukan
Kesimpulan
Lokakarya ini mengajak peserta untuk lebih kritis terhadap bagaimana bahasa, seni, dan sastra digunakan sebagai alat kontrol sosial. Seniman dan penulis perlu sadar bahwa karya mereka tidak hanya tentang ekspresi, tetapi juga bisa menjadi bagian dari sistem yang mereka
ingin lawan. Menggunakan bahasa lokal bisa menjadi salah satu cara untuk membangun perspektif baru yang lebih adil dan tidak terjebak dalam hegemoni budaya dominan. Ugoran Prasad menambahkan perihal banyaknya seniman/ masyarakat mengangkat isu bahasa, seni, dan teater, dengan fokus pada bagaimana medium bahasa digunakan dalam seni pertunjukan serta bagaimana bahasa Indonesia dapat berkembang tanpa kehilangan identitasnya. Ia juga menggarisbawahi bagaimana bahasa dalam teater tidak sekadar menjadi teks, tetapi juga harus bisa menjadi bagian dari tubuh dan aksi aktor di panggung.
Referensi Tambahan
Untuk memahami lebih dalam tentang topik-topik yang dibahas dalam lokakarya, berikut beberapa buku dan jurnal yang relevan:
Buku:
- Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. (Membahas teori hegemoni dan budaya).
- Fanon, Frantz. The Wretched of the Earth. (Membahas kolonialisme dan dekolonisasi dalam konteks seni dan budaya).
- Said, Edward. Orientalism. (Menganalisis pengaruh kolonialisme dalam membentuk persepsi budaya).
- Berger, John. Ways of Seeing. (Mengulas bagaimana seni mempengaruhi cara kita melihat dunia).
Jurnal:
- Spivak, Gayatri. Can the Subaltern Speak? (Jurnal tentang representasi budaya dan kolonialisme).
- Bourdieu, Pierre. The Field of Cultural Production. (Menjelaskan bagaimana kekuasaan bekerja dalam dunia seni). o Barthes, Roland. The Death of the Author. (Membahas bagaimana makna dalam teks tidak hanya berasal dari pengarangnya, tetapi juga dari pembacanya).
3.
Amatan/ Refleksi Lokakarya dari Ma’rifatul Latifah terhadap “Pengarsipan Vernakular dan
Narasi Kolektif Kota” Ayos Purwoaji
Lokakarya ini membahas tentang bagaimana masyarakat menciptakan, mengarsipkan, dan mempertahankan narasi kolektif di kota melalui pendekatan vernakular, serta bagaimana ruang-ruang tersembunyi dalam kota memiliki identitas dan sejarah yang sering kali tidak tercatat dalam narasi resmi. Ayos membuka diskusi dengan membahas fenomena pemagaran laut yang mencerminkan perubahan dalam konsep teritori, di mana batasan wilayah tidak hanya terbatas pada daratan, tetapi juga laut. Ia juga menyoroti masyarakat Bajo di Sampela, Wakatobi, yang hidup di atas laut dengan tetap mempertahankan budaya dan struktur sosialnya. Selanjutnya, Ayos berbagi pengalaman tentang proyek kekuratoran yang dilakukan di lingkungan kolong tol di Penjaringan. Masyarakat di sana memiliki hubungan yang unik dengan ruang kota, karena meskipun telah mengalami berbagai penggusuran, mereka selalu kembali dan menata ulang tempat tinggal mereka. Mereka memiliki sistem ekonomi dan sosial yang fleksibel serta strategi bertahan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Ayos juga membahas proyek pemetaan “jalan tikus,” di mana tukang ojek menunjukkan jalur alternatif yang tidak ada dalam peta resmi, sebagai bentuk resistensi terhadap kontrol negara atas ruang kota.
Narasi yang terlupakan dan kota yang dipetak-petak, Ayos menyoroti fenomena pemagaran laut, yang mencerminkan bagaimana konsep teritori telah bergeser dari yang hanya berbasis darat menjadi berbasis laut. Contoh masyarakat Bajo Sampela, Wakatobi dijadikan ilustrasi bagaimana ruang hidup mereka di atas laut tetap mengadopsi tata ruang daratan, seperti sekolah berbentuk huruf “U” dengan lapangan tengah. Mereka bahkan memiliki klub sepak bola meskipun tidak memiliki daratan, dan saat bertanding mereka berbondong-bondong menggunakan perahu untuk mendukung tim mereka. Hal ini membuat Ayos berpikir bahwa imajinasi tentang teritori dan ruang akan terus bergeser di masa depan, terutama dengan semakin berkembangnya konsep kepemilikan ruang di laut.
Pengarsipan vernakular di kolong Tol, Ayos berbagi pengalaman bekerja dengan masyarakat kolong tol di Penjaringan, Jakarta selama dua minggu. Mereka yang sering mengalami penggusuran berulang kali tetapi selalu kembali membangun permukiman.
Masyarakat ini memiliki hubungan unik dengan tanah; mereka berpindah-pindah dan memilih lokasi berdasarkan kondisi ekonomi serta sosial. Arsip penggusuran yang mereka simpan digunakan sebagai media untuk berbagi pengalaman dan strategi bertahan hidup dengan pendatang baru. Mereka memiliki kelenturan dalam melihat ruang, tidak terikat pada kepemilikan tanah seperti konsep hukum negara (HGB, HGU). Resistensi terhadap tata kota dan narasi resmi menyebabkan proyek “jalan tikus” melibatkan tukang ojek untuk memetakan jalur-jalur alternatif yang tidak ada dalam peta resmi, menunjukkan bagaimana warga menciptakan pemetaan kota sendiri. Hal ini menyoroti bagaimana tata kota yang dibuat oleh negara sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan dan kecerdasan spasial warga. Seorang pemulung bahkan berkata bahwa mereka tetap tinggal di sana karena “fengsui-nya bagus” yang dalam konteks mereka berarti lokasi ini sesuai dengan alur ekonomi mereka.
Diskusi dengan audiens, penulis melihat beberapa catatan dalam lokakarya tersebut, diantaranya:
- Gladhys menyoroti bagaimana otoritas kota sering kali melihat rakyat sebagai “konten” atau alat legitimasi kekuasaan mereka, tetapi sering kali gagal membangun hubungan yang benar-benar bermakna dengan warga.
- Syamsul membahas tentang bagaimana batasan yang dibuat negara lebih bersifat tegas dan intimidatif, berbeda dengan batas yang diciptakan oleh warga.
- Dendi mengangkat isu penghapusan sejarah melalui transformasi ruang, seperti dalam kasus perubahan lokasi bersejarah menjadi alun-alun.
- Arsita mempertanyakan bagaimana melihat warga yang membangun rumah di atas laut sebagai bentuk “kapling” yang dilakukan secara mandiri, bukan oleh negara atau korporasi.
- Utta membandingkan kawasan Braga yang glamor dengan Kampung Braga yang tidak terlihat dan rentan banjir, menggambarkan dualitas dalam kota.
- Syamsul juga menambahkan contoh “Bagan” di Madura, tempat tinggal sementara di laut yang digunakan untuk menangkap ikan.
- Rama mempertanyakan apakah konsep “visible-invisible” dalam kota memang selalu berwatak dualistik.
Kesimpulan
Ayos menyoroti peristiwa-peristiwa ini dengan mendekati langsung masyarakat, mendokumentasikan pengalaman mereka, dan menunjukkan bagaimana mereka menciptakan narasi sendiri. Ia melihat kota bukan hanya sebagai ruang yang diatur negara, tetapi sebagai tempat yang penuh dengan lapisan narasi yang tersembunyi. Dengan pengamatan ini, ia menunjukkan bahwa masyarakat selalu memiliki cara untuk beradaptasi, bertahan, dan menegosiasikan ruang hidup mereka, meskipun sering kali tidak diakui oleh sistem resmi. Melalui pendekatannya yang interdisipliner—menggabungkan seni, antropologi, dan kajian kota—Ayos menyoroti peristiwa-peristiwa ini bukan hanya sebagai fakta sejarah, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang terus berkembang.
Referensi
Bayat, A. (1997). Un-civil Society: The Politics of the ‘Informal People’. Third World Quarterly, 18(1), 53-72.
Harvey, D. (2008). The Right to the City. Verso.
Kusno, A. (2000). Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia. Routledge.
Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Blackwell Publishing.
Roy, A. (2005). Urban Informality: Toward an Epistemology of Planning. Journal of the American Planning Association, 71(2), 147-158.
Simone, A. (2004). For the City Yet to Come: Changing African Life in Four Cities. Duke University Press.
4.
Amatan/ Refleksi Lokakarya dari Ma’rifatul Latifah terhadap “Koreografi Sosial (Kota) dan Kerimpangan Gairah” – Saras Dewi
Lokakarya ini membahas konsep koreografi sosial, yang merujuk pada bagaimana gerakan dan ruang sosial terbentuk dalam kehidupan urban, terutama di Jakarta. Koreografi sosial bukan sekadar pertunjukan, tetapi suatu peristiwa sosial yang dapat dipelajari melalui interaksi warga, ritual, dan ekspresi budaya. Peristiwa tersebut juga dipahami sebagai peristiwa yang berkembang melalui praktik komunitas, pengamatan, dan metode riset artistik. Ia membandingkan tari Seblang Banyuwangi dengan realitas urban. Tari Seblang bukan sekadar seni, tetapi mencerminkan keresahan sosial warga, seperti penyempitan ruang hidup dan degradasi lingkungan.
- Kota dan Ketimpangan Sosial
Saras menyoroti bagaimana kota sering dipahami sebagai ruang segregasi dan ketimpangan. Ia mempertanyakan kebijakan pembangunan Jakarta yang berambisi masuk 20 besar kota global, tetapi mengabaikan aspek budaya dan sosial. Menurutnya, seni bukan hanya alat beautifikasi kota, tetapi juga memiliki dampak sosial yang lebih dalam, misalnya dalam memperjuangkan keadilan ruang dan ekspresi warga. - Seni Tari Sebagai Kritik Sosial
Saras membahas beberapa karya seni yang mencerminkan kritik sosial melalui tari:
a) “The Lovers” (Josh Marcy) → Menggambarkan tekanan terhadap kebebasan tubuh dan cinta di kota yang penuh aturan.
b) “InterFACE” (Yola) → Mengangkat kritik terhadap mekanisme sosial yang semakin digital dan impersonal.
c) “Ishvara” (Angelissa) → Mengeksplorasi diskriminasi yang dihadapi komunitas transpuan dan keberagaman gender. - Kesenjangan Gender dan Ruang Kota
Saras mengutip Leslie Kern dalam bukunya Feminist City, yang menunjukkan bahwa kota sering kali tidak ramah terhadap perempuan dan kelompok rentan. Ruang publik bisa menjadi tempat yang penuh ancaman bagi perempuan, baik di transportasi umum maupun di dalam rumah sendiri. Ia juga membahas bagaimana orientasi seksual dan gender sering kali tidak diakomodasi dalam ruang kota, yang masih cenderung heteronormatif dan tidak inklusif. - Ritual, Tubuh, dan Kerasukan dalam Tari
Saras membahas konsep kerasukan dalam tari, seperti dalam tari Seblang dan Lengger. Kerasukan bukan sesuatu yang eksternal, tetapi merupakan bagian dari tubuh yang “tersadar” melalui musik dan ritual. Ia menyoroti bagaimana tari Lengger dapat berkembang menjadi lengger punk atau cyberpunk, yang tetap mempertahankan esensinya tetapi dalam konteks modern, hubungan tubuh dengan alam, dan bagaimana tari dapat digunakan untuk membayangkan relasi manusia dengan lingkungan, termasuk praktik kerasukan yang bisa menjadi bentuk koneksi dengan alam. - Kritik terhadap Antroposentrisme dan Kota yang Tidak Ramah Lingkungan
Saras mempertanyakan bagaimana kota bisa dibangun di atas pemusnahan lingkungan. Ia mengangkat ide bahwa kota seharusnya bisa lebih inklusif terhadap alam, bukan sekadar menambahkan taman kota tetapi juga merombak cara berpikir kita tentang keseimbangan ekologis. Ia mengutip riset tentang mikroba dan tanaman dalam ritual Seblang, yang menunjukkan bagaimana elemen-elemen alam sering kali diabaikan dalam pemahaman koreografi sosial. - BDSM dan Otonomi Tubuh
Dalam diskusi tentang BDSM, Saras menyinggung penelitian Fariza Intan Wulandari, yang menjelaskan bahwa praktik BDSM sebenarnya didasarkan pada prinsip konsensual dan eksplorasi otonomi tubuh. BDSM bukan bentuk kekerasan, tetapi cara individu mengekspresikan pengalaman tubuhnya. Ia menekankan pentingnya memahami kebebasan tubuh bukan sebagai sesuatu yang manipulatif, tetapi sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari kesadaran diri sendiri. - Koreografi Sosial sebagai Metode Advokasi
Saras menyampaikan bahwa koreografi sosial bukan hanya praktik artistik, tetapi juga bisa menjadi alat advokasi sosial. Ia menyebut bagaimana:
a. Seniman dapat menciptakan ruang-ruang alternatif di kota yang penuh ketimpangan.
b. Advokasi melalui seni tari bisa menjadi cara untuk menantang norma dan ketidakadilan, misalnya dengan mengkritik gentrifikasi atau eksploitasi lahan. - Interkorelasi Tubuh, Kota, dan Alam
Saras menekankan bahwa koreografi sosial bukan hanya soal tubuh manusia, tetapi juga tentang bagaimana tubuh terhubung dengan lingkungannya. Tari bukan sekadar teknik gerak, tetapi sebuah cara untuk memahami bagaimana tubuh kita berinteraksi dengan ruang dan komunitas. Gerakan dalam tari sering kali mencerminkan lanskap sosial, misalnya bagaimana tari kuda lumping terpengaruh oleh kondisi tanah dan pertanian di daerahnya.
Kesimpulan
Saras Dewi menyampaikan bahwa koreografi sosial adalah metode memahami ruang sosial melalui seni tari, di mana tubuh bukan hanya alat estetika tetapi juga media kritik terhadap ketimpangan sosial, gender, dan eksploitasi lingkungan. Kota sering kali dibayangkan sebagai ruang kompetisi dan kapitalisme, tetapi melalui koreografi sosial, kita bisa membayangkan kota yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi
Referensi
Berikut beberapa buku dan jurnal yang relevan dengan topik koreografi sosial dan kritik terhadap ruang urban:
Buku:
- Leslie Kern – Feminist City: Claiming Space in a Man-Made World (2020) → Mengulas bagaimana kota sering kali dibangun tanpa mempertimbangkan keamanan dan kesejahteraan perempuan.
- Michel Foucault – Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975) → Membahas bagaimana ruang kota dan institusi sosial membentuk perilaku manusia.
- Paul B. Preciado – An Apartment on Uranus (2019) → Mengkaji identitas gender, tubuh, dan ruang sosial dalam konteks modernitas.
Jurnal:
- Fariza Intan Wulandari – BDSM dan Otonomi Tubuh: Sebuah Kajian Gender dan Seksualitas → Menjelaskan bagaimana BDSM bukan hanya praktik seksual tetapi juga bagian dari eksplorasi tubuh dan relasi sosial yang berbasis konsensual.
- Sally Ann Ness – Choreographies of Everyday Life: Social Movement and Dance → Mengulas hubungan antara koreografi dan ruang sosial dalam kehidupan sehari-hari.
- Artikel di Journal of Urban Cultural Studies tentang performativitas ruang publik dan seni pertunjukan dalam membentuk identitas kota.
Ma’rifatul Latifah merupakan seorang seniman teater, aktor, sutradara dan performance yang berasal dari Bangkalan. Dia alumni Pendidikan Sendratasik UNESA (2021) dan sedang melanjutkan studi Magister Seni di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bergabung di Kamateatra Art Space (2019) dan Perempuan Xpresif (2022). Ma’rifatul bekerja dengan pendekatan refleksi diri atau mengolah cerita-cerita keluarga dan sekitarnya, isu sosial, perempuan serta kerja pengarsipan. Tidak hanya di teater dia juga melebarkan pengalamannya pada bidang seni rupa.
Karya yang pernah di lahirkan yaitu Monolog Marsihati (2021), Pamawang (2022), Paka’ Ro’om (2023), Paè’na Bhàbàr (2023), Laku Beraroma Wana (2024), Deporrah Tanèyan (2023 & 2024), Angon Pawon (2024), Sekilas Dalam Kurungan (2024).
Beberapa kegiatan kesenian yang pernah ikuti, yaitu; Penyaji Monolog Terbaik 2 dalam Parade Monolog Sidoarjo se-Jawa Timur Gerbangkertasusila (2021), Asana Bina Seni (2023), Temu Seni Monolog – Indonesia Bertutur (2023), Lokakarya Pawon Mumbul – Festival Kebudayaan Yogyakarta (2023), Baku Pandang – Biennale Jogja 17 (2023), “The 12th Borobudur Writers and Cultural Festival (2023), Pelatihan Keaktoran Metode Suzuki di KSJ Purnati (2024), Ritus Ghulur (2024), Pantomim dan Api Gagasan – GMT Jogjadrama (2024), Asana Bina Seni (2024), “Merangkai Sunyi – Alunan Sunyi Tanpa Pelantang Suara” – Lorjhu’ (2024) Minikita Inkubasi Teater Yogyakarta (2024), syuting film Para Perasuk – Sutradara Wregas Bhanuteja (2024), IDRF (2024).