Menduga apa yang sebenarnya sedang di(per)tunjukkan oleh Bandung
(catatan observasi lokakarya pra-residensi Pseudo-Entertainment #1)
Oleh : IB. Uttarayana (Teater Samana)
“KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN
BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK.
PAPAN-PAPAN. PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU
KOSONG. LAMPU-LAMPU TOMPLOK.
DUA TUNGKU, BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG
MENUNGGUI JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK.
ANI DAN INA, DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN
DENGAN MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI
KEDENGARAN SUARA GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT.
SUARA GEMURUH LAGI.”
Teks di atas adalah neben text pembuka dari naskah teater berjudul RT 0 RW 0 karya Iwan Simatupang, yang ditulis pada tahun 1966. Iwan Simatupang dengan beberapa karya sastranya yang lain seperti Petang di Taman (naskah teater) dan Ziarah (novel) sering mengangkat isu eksistensialisme, khususnya pada level masyarakat kelas bawah. Iwan Simatupang pada karya-karyanya kerap mempertanyakan ulang bagaimana posisi tokoh-tokohnya dalam dunia fiksi ciptaannya, tentu dunia fiksi ini lahir dari realitas sosial yang terjadi dalam konteks ruang dan waktu yang nyata saat itu.
Secara sekilas dalam neben teks yang dikutip sebelumnya, kita bersama mampu menduga bahwa lanskap seperti itu cukup familiar secara visual dalam ruang-ruang yang tak terjamah pada setiap sudut-sudut kota besar di Indonesia, tak terkecuali di kota Bandung. Walaupun di Bandung sendiri tidak terlalu umum kolong jembatan atau jalan tol dijadikan pemukiman, seperti di Jakarta misalnya, tapi pemandangan tersebut bisa kita dekatkan dengan lanskap ruang yang lain, seperti kawasan kampung-kota Tamansari, Dago Elos, atau Braga. Beberapa daerah tersebut memiliki tone yang cukup kontras jika disandingkan upaya “memoles wajah kota” dari jargon-jargon indah kota Bandung sendiri. Lalu jika boleh melakukan lompatan pertanyaan, apakah mungkin Bandung sedang melakukan pseudo-nya terhadap mimpi-mimpi romantisme tata kota?
Berangkat dari keresahan tersebut, dan kesempatan yang diberikan sebagai pengamat pada LokaKarya pra-residensi Pseudo-Entertainment yang diselenggarakan oleh BPAF, saya mencoba untuk merangkum temuan-temuan apa saja yang dipaparkan oleh para Fasilitator (Ugoran Prasad, Saras Dewi, Ayos Purwoaji, dan Aan Mansyur) sekaligus pantikan pertanyaan personal apa yang sengaja-tak sengaja muncul dalam benak saya.
Berangkat dari pemaparan Ugo tentang “City as and is Performance”, dia menyinggung bagaimana kota sebagai ruang lalu lintas interaksi sosial. Lantas dari lalu lintas tersebut, terciptalah apa yang “dianggap” atau as Performance. Tapi yang menarik bagi saya adalah, apa atau siapa yang mempunyai andil untuk mengorkestrasi pertunjukan tersebut? Kuasa macam apa yang mampu secara organik (pun sistemik) merangkai apa-apa saja yang terjadi dalam sebuah kota? Dan jika kehidupan urban kota dianggap sebagai sebuah jala yang dibentangkan oleh “seorang nelayan”, lalu siapa yang terjaring oleh jala itu?
Menyambung dari presentasi Ugo, saya langsung mengaitkan pembacaan Ayos tentang sebuah lanskap kehidupan urban dalam potret Kampung Kolong Tol Penjaringan. Ayos menyebutkan bahwa ada kelompok masyarakat yang “benar-benar kalah”, namun daya dan upaya mereka untuk tetap menjalani kehidupan adalah sebuah sikap tidak tunduk pada relasi kapitalisme kota. Pemaparan tentang Kampung Kolong Tol Penjaringan inilah yang saya maknai terkait presentasi Ayos yang berjudul “Bersembunyi di Antara Lipatan Kota”.
Menggabungkan dari kedua topik yang dibahas oleh Ugo dan Ayos, mungkin mulai terlihat siapa yang pada akhirnya berperan dalam orkestrasi lalu lintas sosial kota, atau lebih spesifiknya adalah, siapa yang mendominasi dan siapa yang terdominasi? Ugo menjelaskan bahwa ada yang berperan mengonsep strategi dan ada yang berperan menggerakkan taktik. Tentu kewenangan membuat strategi disematkan kepada seseorang atau segelintir kalangan yang dianggap dominan, seperti pemerintah misalnya, atau pemilik modal dalam lingkup perusahaan. Di sisi lain, warga kota atau buruh, yang (mungkin terpaksa) mengambil posisi penggerak taktik dari strategi yang ada. Tapi saya membayangkan bahwa alur strategi-taktik ini tidak se-literal pelatih sepakbola memberi intruksi ke 11 pemain di lapangan, jauh lebih kompleks daripada itu. Justru strategi dari pemerintah akan mendapat taktik yang berbeda dari warganya.
Taktik warga inilah, jika kembali menyinggung apa yang dipaparkan Ayos, memposisikan sifat organik yang lahir dalam kehidupan warga Kampung Kolong Tol Penjaringan. Ayos menyebutnya dengan kelenturan memahami ruang. Saya membayangkan bahwa warga kampung tersebut benar-benar memiliki sifat “bongkar-pasang”nya sendiri dalam menyikapi situasi sosio-kultural mereka yang cenderung fleksibel dan temporer. Kesiapan yang sudah menubuh, atas resiko penggusuran, justru bagi mereka mungkin berita penggusuran menjadi bukan sesuatu yang tiba-tiba datang, tapi dengan cara membaca situasi, “memasang kuping” di sana-sini, membuat mereka punya taktiknya sendiri dalam menyikapi penggusuran. Tentu taktik seperti ini, khususnya saat bertemu pada kondisi kota yang berbeda-beda, menuntut penyikapan yang berbeda pula, apalagi jika dikembalikan lagi pembacaannya terhadap isu penggusuran di kota Bandung.
Kota yang memiliki koreografi sosial, mengutip apa yang dipaparkan oleh Saras, dan sambungan yang dipaparkan oleh Ugo dan Ayos, menjadi posisi penting bagaimana kita punya kepekaan yang tak terbatas dalam membaca orkestrasi seperti apa yang sedang terjadi, sepaket dengan apa yang sudah terjadi dan akan terjadi, sebuah kesadaran ambivalensi dalam mebaca ulang kota. Jika meletakkan kembali yang dicuatkan oleh Ugo terkait publik dan counter-public, dimana upaya pembacaan dominasi pemerintah dengan strategi yang disiapkan untuk publiknya, justru mendapatkan sifat perlawanan atau counter-publik yang hadir sebagai taktik untuk merespon strategi yang kerap kali hanya menguntungkan pihak yang dominan. Saya mengambil contoh dari berita banjir sungai Cikapundung yang membuat warga kampung Braga mencekam dan selalu harap cemas ketika musim hujan datang. Saya membayangkan, jalan Braga Bandung yang terkenal dengan pusat wisata, dimana konsumerisme dan glamorisasi menjadi lalu lintas yang padat disepanjang jalan itu, menyisipkan ironi yang mungkin jika kita menerka jarak antara jalan Braga dan gang Kampung Braga yang mungkin hanya beberapa meter saja, ada sesuatu di balik “gincu” jalanan Braga yang ternyata menyimpan kontras sosial yang cukup tragis.
Atas kutipan gejala-gejala yang pastinya tidak lengkap saya hadirkan, saya mempertanyakan ulang posisi saya sebagai warga perantauan, yang kurang lebih sudah 10 tahunan bermukim di Bandung. Saya bersamaan dengan praktik kesenian yang saya lakukan, sudah seberapa jauh mengenal Bandung itu sendiri, apakah justru sebagai warga perantauan saya juga jadi terjebak dalam jala-jala tak terlihat itu. Dan memposisikan para peserta Pseudo-Entertainment yang akan melakukan risetnya selama kurang lebih 1 bulan di Bandung, apa yang “berhasil” dibaca dari waktu yang singkat itu? Yang akhirnya akan menjadi bentuk pertunjukan yang seperti apa?
Sebagai tulisan refleksi, saya akan menutupnya dengan apa yang dipaparkan oleh Aan, bahwa menulis adalah upaya merawat ladang pertanyaan. Ide-ide tetap tumbuh dengan liar, sejalan dengan proses riset yang dilakukan para peserta residensi. Bentuk luaran pertunjukan (atau apapun nanti bentuk yang lahir), apakah secara klise menjadi “jawaban” atas ladang pertanyaan yang sedang dijahit sebelumnya? Dan justru kewaspadaan tentang posisi seniman yang harusnya menentang hegemoni dominasi sebuah ideologi, justru malah mempertebalnya. Tentu yang diharapkan kelak, ketika momen presentasi hasil riset, apa-apa yang akan dipertunjukkan tidak menjadi pertanyaan ganjil yang merisaukan dalam tidur kita masing-masing, yang seharusnya harus tetap menjaga api yang hangat, sebagai gairah kerimpangan kehidupan sosial.