
Syamsul Arifin
(Sampang, Madura)
Syamsul Arifin adalah seorang nelayan asal Sampang, Madura yang sesekali mengerjakan karya seni lintas disiplin. Sehari-hari ia melaut untuk menyambung hidup, terutama saat musim barat/penghujan. Kelebihan waktu luang selepas melaut, terutama di musim kemarau, ia isi dengan melakukan riset kecil-kecilan perihal ekosistem laut, gelagat cuaca, motif naik-turunnya harga ikan dan hal-hal lain yang dekat dengan kesehariannya. Riset-riset itu ia gunakan sebagai bekal untuk membuat karya seni: pertunjukan, pameran, dan/atau mengikuti program-program yang menurutnya penting, mulai dari residensi, workshop atau kelas inkubasi karya. Syamsul aktif di Tanglok Art Forum dan Lembana Artgroecosystem. Ia adalah anggota pendiri Garasi Performance Institute, akademi dan hub seni pertunjukan lintas disiplin yang bekerja dengan paradigma jejaring antar ragam lokasi budaya.

Mega Buana
Lampung
Mega Buana lahir di Bandar Lampung pada 1999. Ia adalah seorang koreografer dengan latar belakang seni tradisional Indonesia yang tertarik pada seni modern dan kontemporer. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan magister di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dengan minat penciptaan seni tari. Tema gender dan seksualitas, terutama perihal gairah dan kesenangan, menjadi salah satu fokus dalam riset artistiknya saat ini.

Arif Furqan
Yogyakarta
Arif Furqan adalah seniman visual yang memanfaatkan fotografi, arsip, dan medium instalasi untuk mengeksplorasi isu tentang keluarga, memori, sejarah, dan mobilitas. Menjadi bagian dalam Flock Project, sebuah kolektif yang mengeksplorasi kemungkinan medium cetak fotografi. Pada tahun 2021, ia menerima Prince Claus Seed Award atas Unhistoried, sebuah proyek riset dan eksplorasi artistik berbasis arsip foto keluarga Indonesia di era Orde Baru (1960-1990an). Kini, ia sedang melakukan riset dan proyek artistik perihal ingatan vernakular serta lanskap ingatan tentang Indonesia era Orde Baru. Lima tahun terakhir ini, eksplorasinya perihal sejarah salah satunya berkonsentrasi pada monumen—termasuk perihal sesuatu yang 'monumental'— yang di dalamnya merekam tarik menarik antara historiografi, ingatan kolektif, dan sejarah personal.

Adhea Rizky Febrian
Bandung
Adhea Rizky Febrian adalah orang muda-aktivis yang turut dalam gerakan memperjuangkan hak atas ruang hidup warga dari penggusuran di wilayah Dago Elos. Ia juga memiliki ketertarikan yang besar terhadap seni sebagai praktik dan alat advokasi sosial. Ia percaya bahwa seni mungkin tidak bisa mengubah dunia tetapi seni bisa mempengaruhi orang untuk bergerak melakukan perubahan-perubahan. Keyakinan ini ia temukan dari pengalamannya bersama Bang Billy dan para musisi punk yang turut mengadvokasi Dago Elos (kisahnya bisa dilihat di dokumenter Dago Elos Never Lose).
Saat ini, Adhea aktif mengaktivasi ruang di Dago Elos melalui festival musik, diskusi publik, dan kegiatan anak anak bersama dengan kawan-kawan yang bersolidaritas dengan Dago Elos. Bagi Adhea, solidaritas bisa dibangun oleh seni yang punya kemampuan merajut kedekatan-kedekatan konteks sosial budaya di berbagai tempat. Karena itu, lewat kesenian, ia berupaya untuk mengabarkan keadaan yang sedang terjadi di Dago Elos ataupun wilayah lain yang mengalami hal serupa

Biohaha
Bandung-Surabaya
Biohaha adalah kelompok multidisiplin yang menggabungkan seni dan sains, dengan fokus pada biologi dan relevansinya terhadap kondisi sosial, budaya, serta iklim di Indonesia. Anggota Biohaha berasal dari berbagai kota, memiliki latar belakang seni yang kaya dengan praktik yang berakar pada eksplorasi ilmu biologi. Karya dan eksperimen Biohaha memadukan inovasi serta kesahajaan. Salah satu praktiknya adalah pengembangan alat-alat laboratorium biologi secara swakriya dengan memanfaatkan barang bekas. Hal ini tidak hanya menjadi upaya untuk membuat sains lebih terjangkau, tetapi juga sebagai bagian dari semangat keberlanjutan dan kreativitas dalam menghadapi keterbatasan. Praktik seperti ini disajikan dalam bentuk program lokakarya reguler untuk berbagi ilmu dan membangun komunitas DIY Biologi yang organik dan dinamis. Biohaha percaya bahwa kolaborasi antara seni dan sains tidak hanya mampu menghasilkan karya yang bermakna tetapi juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih kreatif dan mencintai lingkungan.

Amina Gaylene
Cianjur/Depok
Amina Gaylene kini fokus menulis. Dalam perjalanannya di kesenian, ia telah menghasilkan berbagai karya mulai dari artikel, esai, cerpen hingga naskah teater dan film. Setiap karyanya adalah refleksi atas hal-hal yang ia butuhkan, impikan dan ingin disumbangkan kepada lingkungan sekelilingnya. Melalui proses ini, ia menemukan bahwa kehidupan adalah jaringan keterhubungan yang saling berdampak. Setiap tindakan kecil saling berhubungan dan dapat membawa perubahan yang lebih besar.
Salah satu tema yang saat ini ia telusuri adalah kolonialisme. Baginya, kolonialisme tidak dapat didefinisikan secara sempit sebagai penjajahan oleh satu negara terhadap negara lainnya. Kapitalisme demi keuntungan yang sedikit, terus menghisap keuntungan dari yang banyak. Ia menciptakan ketidaksetaraan dalam berbagai hal, termasuk stereotip tertentu demi melanggengkan sistemnya. Bahwa suara bahkan kehadiran kelompok atau ras tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat dikendalikan, juga bahwa mereka dapat direpresentasikan, dan kita kerap terjebak dalam logika tersebut. Pola semacam ini disebut juga sebagai internal colonialism, bentuk penjajahan yang bukan oleh suatu negara terhadap negara lain, tapi oleh satu kelompok terhadap kelompok lain. Ia menyembunyikan dirinya di balik definisi-definisi sempit, ilusi, dan utopia, sehingga kehadirannya tidak disadari.

Fachry Destyanto Matlawa
Jayapura
Fachry Destyanto Matlawa - yang lebih akrab dipanggil Ayi - berasal dari Sulawesi Selatan tetapi lahir dan tumbuh di Jayapura-Papua. Ayi mengenal dunia tari sejak duduk di bangku sekolah dasar. Selanjutnya, ia menempuh dan menamatkan pendidikan pada program seni tari di Institut Seni Budaya Indonesia Tanah Papua (ISBI). Ayi aktif di komunitas tari dan hip-hop ‘Freedom Squad’. Saat ini, ia turut mengelola komunitas Indonesia Art Movement sebagai Dirjen Seni Pertunjukan. Beberapa karya tarinya pernah dipentaskan di acara maupun festival seni berskala lokal, nasional, dan internasional. Dalam karya-karyanya, Ayi kerap bekerja sama dengan koreografer/seniman dari Papua dan luar Papua. Selain bekerja sebagai penari dan koreografer, ia juga beberapa kali menjadi kreator film tari.

Arum Tresnaningtyas Dayuputri
Bandung
Lahir di Solo, Arum Dayu memulai karir kreatifnya sebagai foto-jurnalis untuk Kompas. Ia lulus dari Studi Komunikasi di Universitas Sebelas Maret (2002-2007) dan memperoleh Diploma di bidang foto jurnalisme dari Ateneo de Manila University pada tahun 2012. Gelar Magister Seni Visual ia peroleh dari Institut Teknologi Bandung. Arum Dayu tertarik pada fotografi dan terlibat dalam berbagai pameran, lokakarya, serta residensi seni di Indonesia dan luar negeri. Ia menginisiasi kelompok studi bernama "Kami Punya Cerita" di Tobucil dan Klabs, Bandung juga menjadi anggota serta turut mengelola Omnispace, sebuah kolektif seni di kota yang sama. Ia aktif di dunia musik sebagai anggota band "Tetangga Pak Gesang" dan "Syarikat Idola Remaja."

Ganda Swarna
Tangerang Selatan
Ganda Swarna lahir di Medan, 15 Februari 1992, saat ini berdomisili di Tangerang Selatan. Ia mempelajari teater di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Seni Teater (2013-2019), dengan fokus pada penulisan naskah teater sebagai tugas akhir. Selanjutnya, ia banyak terlibat dalam kerja bersama Bandung Performing Art Forum (BPAF). Proses kekaryaannya dimulai dengan menjadi aktor/performer teater yang bekerja meneliti arsip, kisah-kisah, serta tubuh dalam ruang privat dan publik.
Ia tertarik pada site-specific theater yang mengeksplorasi kemungkinan peristiwa teater melalui ruang-waktu, bunyi, narasi, dan kepenontonan. Saat ini, riset artistiknya fokus mendalami bunyi di ruang publik sebagai peristiwa teater, dengan seluruh kemungkinan sifatnya yang permanen, dapat diakses kapan saja oleh siapa saja. Berkaitan dengan ini, ia amat tertarik dengan tema dan isu ekologi akustik. Beberapa karyanya yang mengeksplorasi bunyi antara lain Gerilya Bunyi, dipresentasikan di Terap Festival, Bandung (2024). Turunan atas karya ini dikemas menjadi naskah teater ruang publik berjudul Gerilya Bunyi: Sepersekian Detik Keheningan Yang Riuh yang terpilih sebagai naskah terbaik ketiga pada Sayembara Naskah Teater DKJ 2024.

Rama Anggara
Pontianak
Berbasis di Pontianak, Rama Anggara adalah seorang komponis, musisi multi instrumental, seniman instalasi musik, serta pengajar seni paruh waktu. Ia menyelesaikan studi penciptaan musik nusantara pada program pascasarjana ISI Padangpanjang. Kerja artistiknya cenderung berangkat dari reinterpretasi tradisi secara intertekstual dan relevan dengan konteks masa kini (sosial, budaya serta ekologi) lewat pendekatan estetika-fenomenologi. Karya-karyanya kerap disajikan dengan gaya hibrid dan futuristik guna menyambung kembali keterhubungan masa lalu, kini, dan nanti.
Saat ini, Rama Anggara terlibat membangun jejaring artistik bersama beberapa pelaku seni melalui kerja-kerja kolektif antar komunitas di Kalimantan Barat. Ia adalah direktur artistik pada sebuah ansambel musik, kolaborator penata musik iringan tari, serta kolaborator kerja eksperimen instrumen musik dan instalasi seni. Ia juga membangun relasi kerja dengan stakeholder dan institusi yang berkomitmen dalam pemajuan kebudayaan. Dalam hal pengayaan keilmuan dan pengalaman, ia terlibat dalam riset lapangan mengenai objek tradisi, melakukan kajian seni pertunjukan, serta mengumpulkan arsip musik tradisi pesisir (laut dan sungai) Kalimantan Barat dalam bentuk biografi maestro serta perekaman audio.